Oleh : Dewi Agustina )*
Koalisi aksi menyelamatkan Indonesia (KAMI) dibentuk Rocky Gerung dkk untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Mereka bersatu dengan alasan untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia. Padahal nyatanya, masyarakat menolak aksi mereka, karena dianggap kurang pas dengan kondisi pandemi. Bisa saja KAMI hanya cari perhatian.
Rocky Gerung, Refly Harun, Said Didu, Din Syamsudin, dan tokoh lain membentuk koalisi aksi menyelamatkan Indonesia (KAMI) awal agustus ini. KAMI dibentuk karena anggotanya merasa gelisah dengan kondisi Indonesia, yang parlemennya seakan tidak bisa mengontrol kebijakan pemerintah. Karena porsi partai oposisi hanya sedikit dibanding yang pro pemerintah.
Donny Gahral Adian, tenaga ahli utama kantor staf presiden menyatakan bahwa koalisi itu sah dan merupakan oposisi swasta. Karena mereka ada di luar parlemen dan tidak terkait dengan partainya. Keberadaan KAMI boleh-boleh saja, karena di dalam Undang-Undang semua masyarakat boleh menyatakan pendapat. Karena Indonesia adalah negara demokrasi.
Namun, sambung Donny, masyarakat tidak butuh ada deklarasi pembentukan koalisi seperti ini. Karena mereka lebih butuh solusi untuk memecahkan masalah. Dalam artian, jangan hanya menyalahkan pemerintah tapi tak turun tangan ke masyarakat. Misalnya memberi donasi untuk murid yang butuh HP karena sekolahnya online, bantu korban PHK, dan lain-lain.
Masyarakat juga setuju akan pernyataan Donny. Di masa pandemi covid-19, alangkah baiknya untuk lebih sering mengadakan penggalangan dana untuk membantu para korban badai corona. Misalnya memborong dagangan pedagang kaki lima yang sepi, memberi bantuan kuota untuk para guru honorer, membantu UMKM dalam pemasaran online, dll.
Bukankah lebih baik bekerja dan bekerja daripada unjuk suara? Presiden Jokowi juga sudah memberi contoh nyata untuk tetap tekun bekerja daripada mengeluh dan mengkritik saja. Sebagai tokoh publik, seharusnya mereka memberi contoh kepada khayalak ramai. Misalnya dengan mengajak masyarakat untuk menanam sayuran untuk mengatasi turunnya gaji, dsb.
Pembentukan koalisi ini seakan-akan hanya momen untuk ‘cari panggung’ agar popularitas anggotanya naik di mata publik. Mereka bisa jadi hanya cari perhatian dan berteriak dengan alasan menegakkan demokrasi. Padahal yang terpenting bukanlah membenarkan langkah pemerintah (yang mereka anggap salah), namun membantu terwujudnya Indonesia makmur.
Jika mereka ingin menyelamatkan Indonesia, tidak usah membentuk aksi koalisi dan dihadiri oleh puluhan orang (plus jurnalis yang meliput). Karena saat itu aturan physical distancing bisa ditebas dan mereka ingin duduk bersisian untuk menunjukkan keakraban. Malah dikhawatirkan akan menjadi klaster corona baru. Seharusnya mereka menghormati masa pandemi.
Masyarakat juga sudah cerdas politik dan tahu manuver para politikus. Walau mereka menyatakan koalisi ini demi Indonesia, namun bisa jadi hanya modus untuk kepentingan masing-masing. Bisa jadi agar masyarakat bersimpati dan akan memilih salah satu anggota mereka untuk jadi calon presiden, tahun 2024 mendatang.
Muhammad Kapitra Ampera, seorang ahli hukum, menyatakan bahwa pembentukan KAMI penuh dengan kepentingan politik. Aksi pada koalisi dan tuntutannya juga cenderung tidak jelas. Aroma politisnya sangat kuat, walaupun mereka menolak jika kegiatan di koalisi ini terkait dengan partai masing-masing.
Masyarakat tahu mereka berasal dari partai oposisi dan bersatu jadi barisan sakit hati, karena calon presidennya kalah di pemilu lalu. Untuk menutupi kekecewaannya, pemerintah selalu diserang. Modus operandi ini biasa, jadi koalisi malah jadi blunder karena gagal dapat simpati. Apalagi saat pandemi, lebih baik ada aksi sosial dan donasi daripada koalisi yang tak jelas.
Pembentukan koalisi aksi menyelamatkan Indonesia malah gagal mendapat simpati publik. Walau KAMI menyatakan mereka bukanlah gerakan politik, namun masyarakat paham dan menganggap mereka hanya cari perhatian. Tujuannya agar elektabilitas di mata publik jadi naik.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini