Oleh : Edi Jatmiko )*
24/08/2020 – KAMI menjadi buah bibir masyarakat karena mengadakan deklarasi besar-besaran. Mereka mengklaim bahwa 200 anggota yang hadir saat itu, bersatu demi memperbaiki negeri. Namun sayangnya acara itu dikhawatirkan malah memprovokasi masyarakat untuk tidak menaati protokol kesehatan, karena mereka mengabaikan aturan jaga jarak.
Koalisi aksi menyelamatkan Indonesia (KAMI) mengadakan deklarasi resmi, 18 agustus 2020 jam 10 pagi. Pemilihan tanggal ini karena memperingati hari lahir pancasila. Acara yang diadakan di Tugu Proklamasi ini dihadiri pentolan KAMI, Din Syamsuddin, Refly Harun, dan anggota lain yang terdiri dari purnawirawan, mantan pejabat, dan anak mantan pejabat.
Di deklarasi resmi ini mereka mengeluarkan maklumat yang berisi kekecewan terhadap pemerintahan saat ini. KAMI bersatu karena ingin menyelamatkan Indonesia yang mereka anggap sebagai kapal karam. Serta mengeluarkan 8 tuntutan kepada pemerintah. Padahal tingkah mereka batal dapat simpati, bahkan acaranya nyaris gagal karena izinnya hampir terlambat.
Masyarakat menganggap deklarasi KAMI malah jadi blunder karena tidak menaati protokol kesehatan dan dianggap kurang menghormati masa pandemi. Para tokoh ini memang sebagian pakai masker tapi tidak mematuhi aturan physical distancing. Deklarasi juga dihadiri oleh ratusan orang. Sehingga dikhawatirkan malah membuat klaster corona baru.
Padahal sebagai tokoh masyarakat, anggota KAMI seharusnya memberi contoh yang baik. Misalnya dengan taat memakai masker walau sudah pakai face shield. Sebagian anggota melepas masker dan hal ini berbahaya, karena virus covid-19 bisa menyebar via udara. Apalagi di sana kondisinya berdesakan dan udaranya pengap, potensi penyebarannya makin tinggi.
Para tokoh yang jadi anggota KAMI juga dikhawatirkan memprovokasi masyarakat dan malah menyulitkan kerja pemerintah dalam menangani pandemi covid-19. Masyarakat yang menonton siaran langsung deklarasi akan merasa malas pakai masker dan jaga jarak, karena mencontoh anggota KAMI yang tidak disiplin dalam menaati protokol kesehatan.
Selain itu, para tokoh KAMI selalu mencela pemerintah. Masyarakat yang awalnya bersikap netral malah jadi terpengaruh dan ikut pula membenci program pemerintah. Misalnya mereka malas berobat ke Rumah Sakit karena semua pasien wajib melakukan rapid test. Mereka beranggapan buat apa menaati aturan kalau pemerintah bertindak seperti itu?
Hal ini bisa menyulitkan pemerintah karena para orang tanpa gejala tahu-tahu meninggal dan tidak diketahui terkena corona. Kasus ini bisa berbahaya karena keluarga dan orang yang berkontak dengannya bisa berpotensi tertular. Juga akan menyulitkan proses tracing karena pihak keluarga sendiri tidak tahu bahwa almarhum meninggal karena kena virus covid-19.
Para tokoh KAMI yang merasa kecewa dengan kebijakan pemerintah juga bisa memprovokasi rakyat untuk mencela presiden dan tindakannya. Masyarakat jadi apatis dan menganggap program untuk mengatasi corona hanya sebuah akal-akalan. Hal ini bisa menaikkan jumlah pasien covid-19 karena ada banyak pelanggaran protokol kesehatan oleh masyarakat.
Celan terhadap pemerintah dan presiden juga bisa dianggap biasa oleh masyarakat, karena mencontoh tindakan anggota KAMI. Padahal hal ini bisa kena pasal UU ITE. Seharusnya, sebagai mantan pejabat yang berpengalaman, mereka bisa bertindak lebih arif dan memberi teladan yang baik bagi masyarakat yang masih awam.
Seharusnya para tokoh KAMI bertindak lebih bijak dan mengkritik dengan santun. Mereka juga bisa membuat deklarasi yang aman. Misalnya melakukannya secara online via aplikasi Zoom. Jika mengadakan acara dan dihadiri banyak orang (plus para jurnalis yang meliput), maka mereka malah melanggar protokol dan tidak menghargai masa pandemi covid-19.
Deklarasi KAMI berbahaya karena bisa membuat klaster corona baru. Serta memprovokasi masyarakat untuk ikut menghujat pemerintah. Mereka juga melanggar protokol kesehatan dan malas mematuhi aturan dari pemerintah, karena kena hasutan dari KAMI. –
)* Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini