Oleh : Dodik Prasetyo )*
29/08/2020 – HTI menancapkan kukunya demi ambisi menegakkan negara kekhalifahan di Indonesia. Padahal organisasi ini sudah dibubarkan, jadi tak berhak mengadakan pertemuan dan pengkaderan calon anggota baru. Usaha mereka untuk bangkit secara sembunyi-sembunyi ternyata ketahuan dan kita harus waspada jika ada acara yang mencurigakan, termasuk di masa pandemi Covid-19.
Di Kecamatan Rembang, Pasuruan, tepatnya di Desa Kalisat, ada sekolah yang digeruduk massa. Ternyata di sana diam-diam ada pengkaderan anggota baru oleh HTI. Massa langsung beraksi dan membubarkan acara itu, karena dikhawatirkan akan meracuni pikiran banyak orang. Serta mempengaruhi mereka untuk mendirikan negara kekhalifahan.
Mentri Agama Fachrul Razi menyatakan bahwa HTI sudah dibubarkan, bahkan sejak 2017. Jadi ketika ada penggerebekan, tidak apa-apa, karena mereka tak punya izin untuk beraktivitas, memberi ceramah, mengadakan pengkaderan, dan mensosialisasikan sistem kekhalifahan. Pembubaran acara ini tidak melanggar hak azasi karena HTI adalah organisasi terlarang.
Pembubaran HTI berdasarkan surat keputan Menhukam nomer AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan keputusan menhukam nomer AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirin badan hukum organisasi HTI. Organisasi ini dibubarkan karena selalu ingin mengganti sistem pemerintahan di Indonesia. Hal ini bahaya karena bisa berujung separatisme.
Masyarakat Indonesia wajib waspada akan provokasi dari mantan anggota HTI. Mereka merasa sakit hati karena dibubarkan, lalu membentuk gerakan gerilya agar bisa membangun negara versi organisasi itu sendiri. Gerakan ini bisa disebut makar karena ingin mengganti azas pancasila dan diganti dengan negara berdasarkan hukum agama, seperti di Saudi Arabia.
Padahal sejak 1945, Bung Karno, Bung Hatta, dan tokoh lain saat proklamasi menyatakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Negri ini terdiri dari 6 agama yang diakui dan juga ada banyak suku. Jadi tidak mungkin mengganti dasar negara seenaknya. Karena akan mengkhianati usaha dari para pejuang dan tokoh plokamator saat membentuk Indonesia.
Jika eks HTI protes mengapa usahanya selalu dipatahkan bahkan anggotanya ditangkap oleh pihak berwajib, jangan marah. Tidak ada asap kalau tidak ada api. Mereka jelas melanggar peraturan dan tidak terima kalau organisasinya dibubarkan. Negara kekhalifahan juga tak sesuai dengan kondisi Indonesia. Jadi jangan playing victim dan malah menyalahkan aparat yang menangkap.
Masyarakat juga wajib teliti jika berselancar di media sosial. Jika ada konten yang ternyata dibuat oleh eks HTI, harus diamati. Apakah mereka diam-diam membuat akun Instagram baru atau berkumpul di grup Telegram dan WA? Pengumpulan ini lebih mudah untuk mengelabui pihak berwajib karena terjadi di dunia maya. Jadi jangan asal klik dan masuk grup seenaknya.
Jika ada akun yang mencurigakan dan mengajak untuk mendirikan negara kekhalifahan, dan diduga dibuat oleh eks anggota HTI, laporkan saja ke kepolisian cyber. Mereka bisa menelusuri postingan tersebut lalu men-take down konten itu. Jangan ragu untuk melapor, karena kecurigaan sekecil apapun bisa berujung ke pengungkapan fakta gerakan bawah tanah mereka.
Konten bernada kebencian terhadap pemerintah juga bisa dicurigai karena bisa jadi mereka adalah eks anggota HTI yang sakit hati karena organisasinya dibubarkan. Mentri Agama Fachrul Razi menegaskan masyarakat agar menggunakan media sosial dengan bijaksana. Jangan malah menggunakannya untuk menulis ujaran kebencian, omelan, dan isu sensitif.
Jika ada konten seperti itu bisa kena undang-undang ITE dan mendapatkan hukuman setimpal. Jadi tiap warga negara memang wajib jaga omongan di dunia maya. Juga jangan mudah terpengaruh jika ada yang mengajak untuk mengganti dasar negara dan diganti dengan kekhalifahan.
Jangan mau jika ada yang mengajak Anda untuk bersama-sama mendirikan negara baru di Indonesia yang berlandaskan khalifah. Karena kita sudah fix sebagai negara demokrasi yang berlandaskan pancasila. Waspadalah jika ada konten bernada kebencian dan segera laporkan ke kepolisian cyber.
)* Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia