Oleh : Ahmad Bustomi )*
Masyarakat dipusingkan dengan ulah anggota KAMI yang mejeng di berita TV dan berteriak-teriak sambil menyalahkan pemerintah. Organisasi itu sudah terlihat memiliki motif politik dan selalu menyerang pemerintah. Padahal tuduhan mereka tidak dipercayai masyarakat, karena hanya asal-asalan.
Pada awalnya, deklarasi KAMI menarik perhatian banyak orang, karena ada banyak nama terkenal. Di antaranya Rocky Gerung dan Din Syamsudin. Namun masyarakat lantas kecewa karena acara itu penuh caci-maki terhadap pemerintah dan bermuatan politis. Ditambah lagi, deklarasi diadakan di Tugu Proklamasi yang jelas-jelas dilarang dipakai untuk acara umum, saat pandemi.
Manuver KAMI untuk menyerang pemerintah tercermin dari 8 tuntutan mereka. Salah satu poin tuntutan menyatakan bahwa pemerintah kurang sigap menangani corona. Juga menuduh negara diatur tidak sesuai pancasila dan UUD 1945. KAMI juga menuntut agar pemerintah mengutamakan pengusaha lokal dan menyelamatkan Indonesia dari resesi.
Hal ini sangat aneh karena tuntutan jadi terdengar sebagai tuduhan yang bermuatan politis, apalagi dibacakan sampai 2 kali dengan penuh emosi. Memangnya siapa mereka kok menyuruh-nyuruh seperti itu? Jangan-jangan sudah mengidap post power syndrom sehingga berhalusinasi sat masih punya jabatan, sehingga bisa menuntut pemerintah seenaknya sendiri.
Memang dalam negara demokratis, apalagi di era reformasi, diperbolehkan berpendapat. Namun bukan berarti kebebasan yang diberikan malah digunakan untuk menghujat. Kepopuleran para anggota KAMI malah digunakan untuk hal negatif. Kontroversi dijadikan alat untuk menaikkan elektabilitas jelang pemilihan presiden 2024.
Meskipun mengelak, namun KAMI sudah terlihat bermuatan politis. Hal ini terbaca dari struktur organisasinya yang memiliki ketua alias Presidium sebagai pemimpin. Juga ada Dewan Deklarator sebagai penentu kebijakan strategis dan prinsipil. Di bawah tingkatan dewan deklarator, ada 9 komisi yang bertugas sebaga pelaksana rencana yang bertugas di lapangan.
Struktur organisasi KAMI sangat mirip dengan penataan pejabat negara, di mana presidium sebagai presiden, dewan deklarator sebagai MPR, dan komisi pelaksana sebagai mentri. Ini organisasi atau kabinet bayangan? Jika mereka berjanji menyelamatkan Indonesia, bagian mana yang bertugas memberi donasi atau jadi relawan penolong rakyat?
Mohammad Daud dari Koalisi Aksi Milenial Indonesia menolak KAMI karena termasuk gerakan politik yang terbungkus gerakan moral. Bahkan Daud bertanya, bagaimana bisa ada sebuah landasan moral yang dilakukan dengan menipu? Mereka tak sabar menunggu pemilihan presiden 2024 dan ingin segera memproses pergantian pemerintahan secara konstitusional.
Sudah sangat jelas terlihat modus politis KAMI dari struktur organisasinya dan terbaca alasan mengapa mereka menyerang pemerintah. Alasannya agar masyarakat terpengaruh dan akhirnya berbalik menyetujui segala tindakan KAMI, dan tak lagi pro pemerintah. Padahal masyarakat sudah paham akal bulus mereka dan tak mudah terprovokasi.
Kata-kata ‘menyelamatkan Indonesia’ adalah propaganda mereka untuk mencuci otak masyarakat awam. Jika negeri ini butuh diselamatkan karena bagaikan kapal yang sedang karam, maka hanya KAMI yang bisa menolong, alias jadi satria piningit. Jangankan menolong, untuk menjadi relawan vaksin covid-19 saja dipastikan tak ada anggota KAMI yang berani.
Propaganda ‘menyelamatkan Indonesia’ sangat berbahaya karena jika digaungkan berulang-ulang, baik di media sosial maupun elektronik, akan bisa terdengar sebagai kebenaran. Akan muncul kepanikan di kalangan masyarakat dan menyebabkan kekacauan. Seharusnya KAMI sebagai mantan pejabat tahu bagaimana menempatkan diksi dengan pas, tanpa membuat hoax.
Jangan percaya dengan manuver KAMI karena sangat bermuatan politis. Jika memang pemerintah sudah berusaha semaksimal mungkin untuk rakyatnya, buat apa ada organsasi untuk selamatkan Indonesia? Deklarasi KAMI dan berita-berita tentang anggotanya hanya dimanfaatkan untuk meningkatkan popularitas dan alasan politis, demi pilpres 2024.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Pemalang