Oleh : Kiki Novinanti )*
Pada awalnya, Tempo adalah majalah bonafid yang disukai banyak orang. Karena mereka menulis berita dengan diksi indah dan fakta yang jujur. Bahkan berani melawan rezim orde baru. Namun sayangnya Tempo versi kekinian makin diragukan krediblitasnya, karena membuat kekacauan dan tak lagi netral.
Sebuah media (cetak maupun online), dituntut untuk tidak memihak ke 1 orang atau organisasi tertentu. Ia juga mengandung berita yang valid, tidak hoax, dan memberi pengetahuan baru kepada masyarakat. Kriteria ini dulu ada di dalam majalah Tempo yang sudah terbit sejak tahun 1971. Sayangnya media mingguan ini arahnya mulai melenceng.
Salah satu kesalahan Tempo yang paling fatal adalah membuat berita yang berisi opini salah. Dalam artikel berjudul ‘Prank Corona dari Pejaten’ dituliskan bahwa Kepala LAN menyebut adanya perbedaan hasil tes swab corona, yang dilakukan oleh BIN. Padahal beliau tidak pernah mengeluarkan statement ini.
Pada berita, Kepala LAN positif corona setelah melakukan swab test BIN. Istana gempar karena ia pernah kontak dengan wakil presiden Ma’ruf Amin. Setelah dites ulang, ternyata hasilnya negatif. Tempo jadi meragukan keabsahan tes swab itu. Padahal hasil tes positif jadi negatif, menurut WHO, disebabkan oleh banyak faktor. Bukan semata alat tes swab-nya rusak.
Adanya kesalahan isi berita sangat membuat situasi jadi runyam, karena secara tidak langsung, Tempo menjelekkan keabsahan alat tes swab corona dan hasilnya. Ia juga meragukan kinerja tim medis dan BIN yang melakukan tes usap pada karyawan LAN.
Padahal tes swab terbukti valid dalam mengetes apakah seseorang terkena virus covid-19 atau tidak.
Dalam situasi krisis, seharusnya media menunjukkan kebenaran dan mengajak kepada kedamaian. Karena tak bisa dipungkiri, banyak orang yang pusing karena efek badai corona. Namun kenyataannya, Tempo malah bikin gara-gara dan membuat hoax dengan menuliskan pernyataan seseorang yang palsu. Tak heran, krediblitasnya makin dipertanyakan oleh publik.
Padahal di masa pandemi ini, seharusnya seluruh lapisan masyarakat bersatu dan bahu-membahu untuk menanggulangi efek badai corona. Namun Tempo malah mengeluarkan berita sensasional agar viral. Nama besarnya sebagai media yang bermutu bisa terkikis oleh ulah wartawan, editor, dan redaktur yang meloloskan berita itu.
Tes swab BIN sudah sesuai standar kesehatan dan protokol laboratorium. Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto menyatakan bahwa BIN menggunakan 2 alat RT PCR dari Jerman dan thermo scientific dari Amerika saat tes swab. Alat itu uga lolos sertifikasi World Bio Haztec (Sebuah lembaga sertifikasi internasional). Analisis hasilnya juga bekerja sama dengan LBM Eijkman.
BIN juga menerapkan ambang batas standar hasil PCR yang tinggi. Jika biasanya standar hanya 35, namun dinaikkan jadi 40. Jadi dipastikan kalau tes swab yang dilakukan BIN sangat valid. Tes swab pada pegawai-pegawai LAN adalah permintaan instansi pemerintah. Karena sebelumnya ada pekerja di sana yang positif corona.
Sebagai media besar, seharusnya Tempo hati-hati dalam menulis berita dan tidak menyebar hoax. Karena kesalahan dalam mengutip pernyataan suatu tokoh bisa jadi bahan gugatan di meja hijau. Jika ada berita yang tidak sesuai dengan fakta, maka bisa menurunkan kualitas Tempo. Hal ini bisa mengakibatkan turunnya oplah majalah atau pengunjung pada situsnya.
Krediblitas Tempo sebagai majalah berita yang kompeten mulai menurun karena kesalahan mereka dan ada narasi untuk memfitnah BIN. Publik jadi mengira kalau percuma tes swab jika hasilnya tidak benar. Lantas mereka menolak rapid test dan tes swab dan makin bahaya karena bisa tertular corona. Tak seharusnya Tempo mengacau saat pandemi.
)* Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Jakarta