Oleh : Ade Kurniawan )*
Para pekerja deg-degan menunggu peresmian omnibus law RUU Cipta Kerja, karena UMK akan dihapus. Namun bukan berarti gaji mereka merosot. UMK memang diganti jadi UMP tapi nominalnya dipastikan sesuai dengan kebutuhan mereka. Omnibus law RUU Cipta Kerja menjamin kemakmurkan pegawai, bahkan mereka mendapat bonus tahunan.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja akan mengubah wajah dunia ketenagakerjaan. Ada 11 klaster, mulai dari investasi, kawasan ekonomi, hingga ketenagakerjaan. Salah satu tujuan dari dibuatnya omnbus law RUU Cipta Kerja adalah memakmurkan pegawai dan mengatasi masalah ekonomi mereka setelah terken dampak corona.
Namun sayang para pegawai bergejolak mendengar kata ‘perubahan’, karena selalu identik dengan hal negatif. Dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, upah minimum kota diubah jadi upah minimum provinsi, dan ditentukan oleh gubernur. Pegawai takut gajinya berkurang drastis dan mulai merancang aksi demo melawan omnibus law RUU Cipta Kerja.
Ketua HIPMI Bali Agung Bagus Pratiksa Linggih menyatakan bahwa omnibus Law RUU Cipta Kerja justru menguntungkan para pekerja. Karena pasal pada UU ketenagakerjaan yang merugikan dihapus dan diganti yang baru. Terlebih, dalam UU nomor 13 tahun 2003, UMK diatur oleh gubernur. Jadi jika UMK diganti UMP dan ditentukan gubernur, tidak menyalahi aturan.
Pengaturan upah minimum oleh Gubernur malah memudahkan penghitungannya. Karena selama ini UMK di kota A dan B berbeda, padahal letaknya berdempetan dan provinsinya sama. Jika upahnya disamakan maka akan memudahkan pembayarannya. Gubernur juga paham seberapa banyak kebutuhan masyarakat dan tidak mungkin menggaji dengan nominal rendah.
Dalam pasal 88C RUU Cipta Kerja disebutkan bahwa UMP adalah jaring pengaman. Maksud dari pasal ini adalah upah minimum bisa mengamankan pekerja. Lantas pada prakteknya, UMP hanya diberi pada pegawai dengan masa kerja di bawah setahun. Setelah itu, ia mendapat gaji di atas UMP. Jadi tidak benar jika gaji pegawai akan turun karena omnibus law hanya untungkan pengusaha.
Justru pengusaha yang tidak membayar gaji pegawainya sesuai Upah Minimum Provinsi, yang akan ditindak oleh Disnaker. Karena pada prakteknya, tidak semua perusahaan dan pabrik memberi gaji sebesar UMP. Malah masa kerjanya bisa lebih dari 8 jam sehari dan tidak dihitung lembur.
Dalam omnibus law RUU Cipta Kerja pasal 88B disebut standar pengupahan ditentukan oleh satuan waktu dan/ atau satuan hasil. Pasal ini bisa menjerat pengusaha nakal yang tidak mau memberi uang lembur. Pun ada pasal lain dalam RUU cipta Kerja yang mengatur bahwa masa kerja seminggu maksimal 40 jam atau 8 jam sehari.
Standar pengupahan dalam satuan waktu belum tentu menurunkan gaji pegawai. Diharap, dengan adanya aturan ini, mereka makin semangat di kantor dan masuk kerja tepat waktu, serta pulang juga tepat waktu. Jika lembur malah dapat uang dari perusahaan. Dengan pasal ini kinerja pegawai akan naik, karena merek bekerja dengan sepenuh hati.
Jadi, para pegawai tak usah takut dengan omnibus law RUU Cipta Kerja, apalagi melakukan demo untuk menentangnya. Karena justru undang-undang ini menguntungkan pekerja. Pegawai diberi upah minimal UMP dan mereka yang bekerja selama lebih dari setahun dipastikan punya gaji di atas standar UMP. Bahkan pekerja kontrak juga digaji sesuai UMP.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja adalah solusi untuk menata kembali iklim ketenagakerjaan. Para pegawai mendapat gaji layak, minimal UMP. Mereka juga berhak mendapat uang lembur dan jam kerja sudah dibatasi jadi maksimal 40 jam dalam seminggu. Mari kita dukung omnibus law RUU Cipta Kerja karena memakmurkan para pekerja.
)* Penulis adalah kontributor pertiwi media