Oleh : Alfisyah Kumalasari )*
KAMI tak henti-hentinya membuat kontroversi yang menghebohkan. Setelah mengadakan deklarasi dan menuntut diputarnya film G30S PKI, saat ini mereka mendukung aksi para buruh untuk mogok kerja dan berdemo, untuk menentang omnibus law. Banyak pihak mencibir karena KAMI hanya mampu nebeng ketenaran dan aji mumpung.
Aksi para buruh untuk mogok kerja secara massal dan dilanjutkan dengan demo menentang omnibus law, akan diadakan tanggal 6 hingga 8 oktober 2020. Yang membuat unjuk rasa ini akan dibubarkan adalah karena dilakukan saat masa pandemi. Terlebih, dikhawatirkan akan ada penunggangan dari provokator dan pihak lain yang licik dan memanfaatkan panasnya situasi.
Hal ini dibuktikan dari pernyataan KAMI yang berisi dukungan kepada kaum buruh. Bahkan mereka menggerakkan simpatisan di berbagai daerah untuk ikut menyokong pemogokan tersebut, karena merupakan sebuah perjuangan untuk menuntut hak. KAMI juga berpendapat bahwa jika omnibus law RUU Cipta Kerja diresmikan, akan ada kekacauan di Indonesia.
Pernyataan KAMI ini membuat masyarakat makin mengabaikan mereka. Karena bukannya membuat prestasi sendiri, malah menunggangi aksi orang lain. Mumpung topik pemogokan massal karena penentangan buruh terhadap omnibus law sedang viral. Untuk apa panjat sosial dan memanfaatkan orang lain, jika ingin mencari simpati masyarakat?
Penulis sekaligus pegiat sosial Denny Siregar menyatakan bahwa KAMI jelas menunggangi aksi para buruh. Ia juga bertanya kepada masyarakat, akan berpihak di kubu mana? Dalam artian, masyarakat disuruh memilih antara pro KAMI atau pro pemerintah. Tentu rakyat akan tetap mendukung pemerintah dan menolak KAMI yang hanya bisa bicara tanpa prestasi.
KAMI juga menyalah-nyalahkan omnibus law yang menurut mereka tidak pro rakyat. Padahal justru omnibus law ingin menyelamatkan pekerja dari penggajian yang tidak sesuai dengan standar UMP. Mereka juga diberi batasan untuk bekerja, maksimal 40 jam seminggu, agar tidak terlalu kelelahan.
Jika KAMI hanya bisa memprovokasi dan menunggangi aksi buruh, maka dikhawatirkan pemogokan massal ini akan lebih ricuh dan jangan sampai ada prahara setelahnya. Saat mereka berdemo, kita tidak tahu mana yang murni buruh, simpatisan KAMI, atau provokator. Semua membeo membela buruh padahal yang benar hanya membela kepentingan sendiri.
Pernyataan KAMI tentang keberpihakan pada buruh juga membuat suasana makin panas jelang pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Jangan sampai ada demo besar-besaran yang berujung tindakan anarki, karena provokasi KAMI. Aksi damai yang berujung petaka bisa terjadi, karena mereka mengembuskan pengaruh agar buruh membenci pemerintah.
Janji KAMI untuk menyelamatkan Indonesia sudah jelas gagal jika mereka menunggangi aksi buruh. Bagaimana negeri ini bisa selamat jika mereka hanya bisa memprovokasi masyarakat? Buruh dan pemerintah diadu. Pekerja dan aparat dipertarungkan. Kalah jadi arang, menang jadi abu. Yang tersisa hanya seribu penyesalan karena terbakar emosi.
Padahal di masa pandemi covid-19, seharusnya kita mendinginkan suasana yang sebelumnya memanas. Banyak orang jadi lebih sensitif karena situasi ekonomi yang belum stabil. Namun, KAMI malah mempengaruhi buruh untuk terus menuntut gajinya dinaikkan lagi, padahal bayaran minimal UMK sebenarnya sudah cukup besar.
Apakah kita masih membela KAMI yang hanya bisa jadi provokator? Pikirkan baik-baik. jika mereka ingin menyelamatkan Indonesia, seharusnya bisa membuka lapangan kerja baru kepada para buruh tersebut, agar batal demo. Namun apakah mereka mau merogoh kocek sendiri demi berkorban dan menyelamatkan Indonesia? Belum tentu.
Jika KAMI ingin menunggangi aksi buruh, maka sudah jelas bagaimana karakter asli mereka. Ingin viral tanpa prestasi tapi nebeng ketenaran berita orang lain. Waspadalah atas segala hasutan provokator saat pemogokan massal dan demo buruh tanggal 6 hingga 8 September.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini