Oleh : Made Raditya )*
Demo menolak UU Cipta Kerja selama 3 hari berturut-turut menyisakan cerita sedih. Banyak fasilitas umum yang rusak, mulai dari halte bus hingga kantor polisi. Pendemo bisa saja beralasan bahwa yang melakukannya bukan buruh, tapi anarko. Siapapun pelakunya, wajib ditindak dengan tegas.
Saat ada kabar bahwa para buruh akan mengadakan demo tolak omnibus law, Kepolisian RI sudah mengeluarkan surat pelarangan. Karena unjuk rasa saat pandemi covid tentu sangat berbahaya. Namun massa tetap nekat melakukan demo, bahkan melakukan tindak kekerasan dengan melakukan perusakan gedung DPRD, pelemparan, dan perusakan halte bus.
Komisioner Kompolnas Pudji Hartanto menyatakan bahwa ia akan menindak tegas pelaku demo yang melakukan tindakan anarkis. Selain melebihi batas, para pengunjuk rasa yang brutal bisa dijerat UU nomor 9 tahun 1998. Karena sejatinya kegiatan untuk menyampaikan aspirasi saat berdemo tidak boleh anarkis.
Pudji menambahkan, walau segenap aparat yang mengamankan demo berusaha tegas menghalau massa, namun bertindak dengan sabar. Dalam artian, kegiatan unjuk rasa ini dibubarkan, selain untuk menghindarkan dari tindakan anarki, juga menyelamatkan para pendemo dari ancaman klaster corona baru.
Pernyataan Pudji ini menjawab pertanyaan masyarakat, mengapa ada pendemo yang ditangkap. Sebetulnya, penangkapan ini bukan bermaksud untuk memenjarakan mereka. Namun untuk mencegah pendemo berbuat anarki. Jika ada fasilitas umum yang dirusak bahkan dibakar, tentu negara yang akan rugi dan pemerintah daerah yang menggantinya.
Mungkin masyarakat takut bahwa penangkapan pendemo mirip seperti kejadian tahun 1998. Ketika ada demo untuk memakzulkan Soeharto, ada mahasiswa dan aktivis yang ditangkap. Namun sekarang mustahil hal itu terjadi, karena pasca reformasi kita jadi negara yang sanagt terbuka dan berusaha demokratis.
Penangkapan pendemo yang anarki sebenarnya untuk memberikan efek jera kepada mereka. Saat diamankan, mereka tak lagi gahar dan mengakui kesalahannya saat itu, yakni merusak fasilitas umum. Vandalisme seperti ini tak bisa ditolerir, karena sudah melenceng jauh dari inti unjuk raksa, yakni menyampaikan aspirasi masyarakat.
Para pendemo yang diamankan juga akhirnya wajib dites rapid. Hasilnya sudah diduga, dari ratusan pengunjuk rasa yang dites, ada 12 orang yang menunjukkan hasil reaktif. Mereka langsung diminta untuk isolasi mandiri, dan lebih baik lagi untuk inisiatif tes swab di RS terkemuka.
Penindakan juga diadakan tak hanya ke pendemo, tapi juga provokatornya. Diduga ada dalang di balik unjuk rasa ini, yang mengakibatkan demo berjilid-jilid. Polisi berusaha keras mengusut siapa orang yang menunggangi demo buruh, sehingga mereka berani turun ke jalan meski masih masa pandemi.
Pengusutan tak hanya dilakukan di dunia nyata tapi juga di dunia maya. Polisi siber sibuk memantau status di Facebook. Twitter, Instagram, dan lain-lain. jadi akan ditemukan siapa yang menyebar isu negatif tentang omnibus law, sehingga para buruh berani berdemo dan melakukan mogok massal selama 3 hari.
Jika tertangkap, maka sang provokator bisa terjerat UU ITE dan terancam hukuman 5 tahun penjara. Bukti berupa tangkapan layar dari status mereka sudah cukup untuk mengantarkan mereka ke meja hijau. Sayang sekali, media sosial tidak digunakan untuk tuuan positif. Namun malah disalahgunakan jadi ajang provokasi dan menghasut banyak orang untuk berdemo.
Jika ada pendemo yang ditangkap dan ditindak tegas, masyarakat diminta jangan panik. Mereka hanya diharuskan mempertanggung jawabkan perbuatannya yang merusak fasilitas umum. Penangkapan ini juga dimaksudkan sebagai efek jera. Agar mereka kapok melakukan demo selanjutnya dan tak lagi nekat membakar kantor polisi dan merusak fasilitas umum.
)* Penulis aktif dalam Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini