Oleh : Edi Jatmiko )*
Pernyataan Presidium KAMI Gatot Nurmantyo tentang dukungan terhadap demo buruh, sontak menjadi sorotan publik. Aksi KAMI tersebut perlu diwaspadai karena dianggap ikut memprovokasi gejolak bangsa.
KAMI yang berdiri sejak 18 agustus lalu rasanya menjadi organisasi yang makin aneh karena melenceng dari namanya. Sejak awal mereka bertujuan ingin menyelamatkan Indonesia, tapi malah sibuk berpidato, mengumbar hate speech, dan menyelenggarakan deklarasi tambahan di luar kota. Padahal masyarakat butuh bukti, bukan sekadar kata-kata manis dan puitis.
Isu omnibus law yang memanas di bulan oktober 2020 dimanfaatkan baik-baik oleh KAMI. Mereka sengaja mendukung unjuk rasa tersebut agar terlihat mendukung wong cilik yang sedang memperjuangkan haknya. Padahal baik buruh maupun KAMI sama-sama termakan oleh berita palsu tentang omnibus law, sehingga yang diteriakkan saat unjuk rasa jadi sia-sia.
Modus KAMI untuk mendukung demo buruh adalah dengan memberi logistik kepada pengunjuk rasa. Jangan kira hal ini membuat mereka jadi pahlawan, karena ada udang di balik batu. Mereka ikut mendukung buruh karena sesungguhnya iri dan ingin juga mendapat perhatian dari media alias aji mumpung.
Bukan kali ini saja KAMI menjadi provokator gejolak bangsa. Saat akhir september lalu, mereka mengeluarkan pernyataan yang kontroversial bahwa film Pemberontakan G30S PKI wajib diputar kembali. Tujuannya agar anak-anak Indonesia tidak lupa akan kekejaman PKI. Padahal saat dulu ada pemutaran film ini, Presidium KAMI Gatot Nurmantyo malah tertidur.
Setelah mengusung isu tentang neo PKI dan gagal total, maka KAMI mencoba mengangkat isu tentang pemilihan kepala daerah. Mereka melarang pilkada serentak dilakukan akhir tahun ini, karena takut akan ada klaster corona baru. Karena saat coblosan dan kampanye calon walikota atau bupati, ada kerumunan massa, yang berbahaya karena tak ada jaga jarak.
Pernyataan tentang pelarangan pilkada serentak ini malah berbanding terbalik dengan dukungan saat demo buruh. Karena justru KAMI menyokong aksi unjuk rasa, padahal sudah jelas dilarang oleh aparat. Penyebabnya karena demo ini bisa memunculkan klaster demonstrasi. Hal ini menunjukkan ketidak konsistenan KAMI dalam mengeluarkan pernyataan.
Saat KAMI mengadakan deklarasi di Surabaya dan ditolak oleh banyak orang, mereka menuduh bahwa pendemo hanya masyarakat yang dibayar oleh oknum tertentu. Padahal tuduhan ini salah besar. Justru mereka yang diduga membayar banyak orang saat demo buruh, sehingga aksi ini memanas dan mereka bisa mengendalikan massa untuk makin beringas.
KAMI juga ikut nebeng ketenaran saat omnibus law masih jadi bahan pembicaraan. Bedanya, jika dulu mereka menentang keras Undang-Undang ini diresmikan, sekarang malah berbalik mendukung. Tersebar video di media sosial berisi pernyataan Presidium KAMI Gatot Nurmantyo yang memuji omnibus law. Sontak masyarakat terkekeh karena ia tidak konsisten.
Jika kita sudah mengetahui akal bulus KAMI untuk selalu nebeng ketenaran pada berita yang sedang viral, masihkah mendukungnya habis-habisan? Jangan mendukung orang yang salah dan selalu ingin cari muka, karena kita jadi ikut salah. Jika KAMI mengeluarkan pernyataan, maka periksa dulu kebenarannya. Karena jika tidak, akan sama-sama terjebak dalam kubangan hoax.
KAMI memang sudah ketahuan bermodus politik dan mereka selalu ingin naik panggung, serta disorot wartawan. Namun sayangnya, cara yang dilakukan salah, karena tidak membuat prestasi dan berusaha menyelamatkan Indonesia. Namun malah membuat berita yang kontroversial dan nebeng ketenaran pada suatu topik yang sedang hot.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiwa Cikini