Oleh : Zakaria )*
KAMI menjadi buah bibir di masyarakat, namun bukan karena keahliannya, melaikan karena sensasi dan pemberitaan negatifnya. Seharusnya mereka menanggung malu dengan namanya, karena tak pernah berusaha selamatkan Indonesia. Namun malah mengacau, memprovokasi, dan bertindak seenaknya sendiri.
Sejak awal berdiri, KAMI sudah sensasional karena nekat mengadakan deklarasi di tempat umum dan mengundang banyak orang. Langkah mereka dinilai tidak etis, karena kita masih dalam masa pandemi. Mengadakan acara sebesar itu mengkhawatirkan karena bisa membuat klaster corona baru, dan mereka seharusnya malu, karena sebagai tokoh publik malah memberi contoh jelek.
KAMI bicara seenaknya dengan menuntut pemerintah. Mulai dari permintaan untuk mengatasi corona, hingga pelarangan investasi asing. Tuntutan ini malah membuat banyak orang tertawa, karena kenyataannya Presiden sudah mengatasi corona sejak awal pandemi. Sedangkan investasi asing tidak seperti yang mereka pikir, karena hanya boleh maksimal 49% saham.
Memangnya siapa mereka? KAMI hanya kumpulan mantan pejabat yang sudah tidak memiliki power. Namun hanya pandai berpidato dan gagal dalam melaksanakan misi. Lantas membentuk organisasi dengan tujuan mencari panggung, agar nanti dipilih masyarakat untuk jadi pejabat lagi. Bahkan Gatot Nurmantyo disebut ingin jadi capres di 2024 mendatang.
Jika mereka memang memiliki misi politis, mengapa tidak membuat partai? Mantan Presiden Megawati juga terang-terangan menyatakan bahwa KAMI berambisi jadi presiden. Oleh karena itu, janganlah membentuk organisasi. Namun bikin saja partai baru, dan mereka juga sudah tahu prosedurnya.
Masyarakat antipati terhadap KAMI karena tidak konsisten. Saat diwawancarai agustus lalu, katanya mereka tak punya tujuan politis. Namun ketika ditemui wartawan oktober ini, akhirnya ada 1 anggota KAMI yang keceplosan bahwa organisasinya memiliki tujuan politis. Sungguh plinplan dan menyedihkan.
KAMI juga ketahuan bermuka dua ketika melarang plkada serentak, karena khawatir ada corona. Padahal saat deklarasi, mereka jelas melanggar protokol kesehatan. Juga ketika ramai isu omnibus law, mereka malah mendukung buruh untuk berdemo. Namun lupa bahwa unjuk rasa bisa menimbulkan klaster corona baru.
Saat ada anggota KAMI yang ditangkap karena terbukti menyebar hoax dan provokasi di media sosial, maka mereka emosi dan langsung menemui polisi. Dengan penuh amarah, Din Syamsudin menuduh penangkapan ini tidak sesuai prosedur dan kurang bukti. Namun kenyatannya, kasus ini sudah sesuai dengan hukum di Indonesia.
Tuduhan ini salah besar karena sprindik keluar tanggal 12 oktober dan penangkapannya tanggal 13 oktober. Sedangkan jika kena UU ITE, seseorang bisa dicekal hanya dengan bukti berupa screenshot statusnya di media sosial. Karena ia beraksi di dunia maya, bukan dunia nyata.
Din Syamsudin tidak bisa seenaknya sendiri dan serta-merta meminta polisi untuk membebaskan anggota organisasinya. Ia lupa bahwa sekarang sudah tidak punya kekuasaan lagi (atau kena post power syndrom?). Lagipula, para anggota KAMI yang dicokok masih dalam proses hukum, sehingga tidak bisa bebas begitu saja.
Jika kualitas anggota KAMI sudah terlihat dari beberapa kasus yang di-blow up oleh media, maka jangan beri panggung kepada mereka. Indonesia tidak butuh calon pemimpin yang suka emosi dan seenaknya sendiri. Jika KAMI plinplan dan tidak konsisten pada ucapannya, apakah masih bisa dipercaya untuk jadi calon presiden?
Jangan ada lagi yang terkena bujuk rayu KAMI karena mereka terbukti bermuka dua, penuh provokasi, dan seenaknya sendiri. Organisasi ini sudah gagal total dalam menjalankan misinya dan akhirnya hanya bisa menyalahkan pemerintah. Mereka juga jago main drama dan playng victim, berakting seakan dizolimi padahal melakukan kesalahan fatal.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Bogor