Oleh : Raavi Ramadhan )*
Masyarakat sudah sangat lelah menghadapi KAMI karena tak henti-hentinya menebar sensasi. Karena mereka berkoar-koar ingin menyelamatkan Indonesia. Namun hanya bisa berkomentar negatif. Saat ada anggotanya yang ditangkap, mereka juga tidak terima dan playing victim. Padahal sudah jelas melakukan kesalahan besar.
Sejak awal didirikan, 18 agustus 2020 lalu, KAMI sudah berjanji akan menyelamatkan Indonesia yang mereka umpamakan sebagai kapal karam. Namun sayang, setelah beberapa bulan langsung terlihat modus mereka yang bermuatan politis. Kemampuan intelektual mereka saayangnya digunakan untuk hal yang negatif dan membohong rakyat.
Kebohongan pertama adalah janji untuk membuat Indonesia terselamatkan. Jika mereka memang ingin jadi superhero untuk negeri ini, mengapa tidak membuka lowongan kerja karena banyak yang butuh pekerjaan? Atau mereka juga bisa membagi sembako dan paket lain untuk mengurangi kemiskinan. Nyatanya nihil.
Sementara kebohongan kedua adalah KAMI malah mendukung penyebaran covid-19, walau secara tidak langsung. Ketika ada demo buruh, mereka malah terang-terangan mendukung. Padahal unjuk rasa bisa menimbulkan klaster corona baru. Karena susah menjaga jarak. Padahal sebulan sebelumnya, KAMI memprotes pilkada serentak karena bisa membuat penyebaran corona.
KAMI juga terbukti menyebar berita bohong dan provokasi di tengah masyarakat, melalui media sosial. Mereka paham bahwa sebagian warga termasuk sumbu pendek dan kurang bisa mengetahui kebenaran suatu berita yang di-share di internet. Kelemahan itu dimanfaatkan dan mereka membuat narasi hoax yang seakan pemerintah selalu berbuat zalim, padahal bohong.
Karena tindakan menyebar kebohongan ini maka ada 8 anggota KAMI ditangkap. Mereka berasal dari Medan dan Jakarta. Peristiwa ini terjadi karena mereka melanggar Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 alias UU ITE. Penyebabnya karena terbukti membuat hate speech dan menyebar hoax di dunia maya. Mereka terancam kurungan sampai 6 tahun.
Namun KAMI malah meradang dan menyalahkan aparat, serta menganggap penangkapan tidak sesuai prosedur. Padahal pencokokannya sudah sesuai, karena surat perintah penyidikan bertanggal 12 oktober sementara penangkapannya 13 oktober. Serta ada bukti berupa tangkapan layar dari status dan percakapan di grup, yang membuat provokasi di masyarakat.
Tim pengacara KAMI emosi dan mengadukan kasus ini ke Komnas HAM, tanggal 27 oktober lalu. Lucunya, sang pengacara saat diwawancarai mengaku bahwa penangkapan ini sehausnya tidak terjadi karena mereka hanya menyebar hoax. Berarti mereka menyepelekan penyebaran berita bohong dan meremehkan aparat.
Padahal jika ada 1 saja berita bohong yang tersebar di masyarakat, akibatnya bisa fatal. Masyarakat bisa mempercayainya dan jadi panik massal. Misalnya ketika ada hoax tentang omnibus law yang menghapus pesangon. Padahal setiap pekerja yang di-PHK masih mendapat pesangon, ditambah juga dengan jaminan kehilangan pekerjaan.
Aduan KAMI ke Komnas HAM juga ebrpotensi ditolak mentah-mentah karena mereka terbukti memprovokasi masyarakat untuk berdemo. Dengan perkiraan, ribuan massa yang mengamuk bisa beramai-ramai ke depan gedung DPR RI lalu meminta pemakzulan. Sehingga KAMI bisa melancarkan aksi makar tanpa harus turun langsung ke jalanan.
Modus KAMI yang penuh kebohongan ini sebenarnya sudah disadari oleh masyarakat. Sehingga aksi demo gagal memakzulkan dan hingga kini omnibus law tidak pernah dihapus. Karena UU ini sebenarnya malah akan memakmurkan Indonesia. Namun KAMI malah ketakutan, entah apa sebabnya.
Jangan ada lagi yang jadi korban KAMI karena mereka akan melakukan segala cara demi mendapatkan keinginannya. Media sosial dijadikan alat untuk menyebarkan hoax dan provokasi, sehingga rakyat tersulut emosinya dan berbalik membenci pemerintah. Semoga KAMI segera bertobat dan tak lagi bertingkah yang membuat masyarakat lelah melihatnya.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Depok