Oleh : Raavi Ramadhan )*
Akhir-akhir ini ada fenomena beberapa pemuka agama yang malah membawa kebencian, karena ia menggunakan kalimat provokasi dalam ceramahnya. Masyarakat merasa geram karena seharusnya mereka mengajak untuk berbuat kebaikan. Namun malah memanas-manasi umat untuk berperang dan menggunakan kata yang kasar.
Sejak dibukanya era reformasi tahun 1998 ada euforia karena masyarakat boleh menyatakan pendapat secara bebas. Begitu juga dengan para pemuka agama. Mereka lega dan tak lagi takut diintimidasi karena isi ceramahnya dianggap menyindir salah satu pihak.
Namun sayangnya ada oknum yang menyalahgunakan kebebasan ini. Mereka semangat untuk berceramah tanpa menyaring isi naskahnya. Suatu ceramah di acara peringatan malah diisi dengan ajakan perang, jihad, dan dibumbui dengan diksi kotor. Bagi mereka jihad dianggap halal, padahal hal itu malah merusak perdamaian antar umat di Indonesia.
Mereka juga menjelek-jelekkan pemerintah yang dianggap durjana, hanya karena aliran politik yang berbeda. Selain itu, naskah ceramah dibumbui dengan berita yang ternyata hanya hoax. Sehingga pendengarnya jadi percaya, karena mereka menganggap sang pemuka agama selalu berkata benar. Padahal mempercayai hoax sangatlah bahaya karena penuh kepalsuan.
Masyarakat sangat kecewa terhadap ulah beberapa pemuka agama yang sangat kelewatan. Bagaimana bisa seorang yang seharusnya memberi teladan baik, malah mencontohkan hal yang buruk? Mereka malah mendorong umat untuk memusuhi orang beragama lain. Juga lupa kalau dulu nabi berdakwah dengan cara lembut, bukan memaksakan seperti ini.
Padahal penceramah itu sudah belajar kitab suci dan hadis, namun lupa ucapan nabi tentang ‘berkata baik atau diam’. Sungguh sangat keterlaluan. Apakah mereka juga lupa ungkapan ‘mulutmu harimaumu’? Sehingga membanggakan statusnya sebagai pemuka agama dan dianggap bebas berceramah tentang apa saja.
Sayang sekali kepopuleran mereka digunakan untuk sesuatu yang negatif, untuk menyalurkan nafsu dan amarah. Apa tidak malu akan gelar pemuka agama jika tidak bisa menjaga lisan? Padahal bisa jadi penonton ceramah itu balita yang tak tahu-menahu arti diksi kotor, lalu saat pulang malah membeo. Bukankah itu namanya meracuni pikiran orang lain?
Bagaimana mereka bisa dipercaya kalau yang diucapkan jauh dari kebaikan? Padahal sebagai penceramah, seharusnya mereka mencontohkan hal yang baik, dimulai dari kata-kata yang baik pula. Namun malah seenaknya menyindir seorang artis yang mereka anggap sebagai WTS.
Ketika safari ceramah dihentikan karena takut ada kerumunan, maka mereka tak kehilangan akal. Video ceramah disebarkan di dunia maya. Dianggapnya di internet juga penuh kebebasan. Padahal jika ada hate speech seperti itu, mereka terancam UU ITE dengan hukuman 6 tahun penjara atau denda 1 milyar rupiah.
Pihak Youtube juga langung men-take down video-video tersebut, karena dianggap merusak kedamaian di Indonesia. Mereka juga tak mau penonton ceramah di portal tersebut terpengaruh dan akhirnya melakukan tindakan yang buruk. Sehingga langsung menghapusnya tanpa pemberitahuan. Karena akan merusak nama baik mereka di dunia maya.
Ketika pemuka agama ditertibkan oleh aparat karena ulahnya yang sudah keterlaluan, jangan ada yang playing victim. Lantas menuduh saat ini pemerintah gemar melakukan kriminalisasi ulama. Padahal sebagai manusia biasa, mereka juga bersalah. Punya gelar pemuka agama bukan berarti mendapat keistimewaan dan jadi kebal hukum.
Sudahlah, akhiri saja ceramah beraroma hate speech dan provokasi. Karena saat ini masyarakat sudah cerdas, tahu mana yang benar dan mana pemuka agama yang sudah keterlaluan. Seharusnya mereka menjaga nama baik dengan berceramah yang baik. Bukannya naik panggung dan mencela orang lain, dan mengotori acara dengan diksi yang kasar.)
* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini