Oleh : Edi Jatmiko )*
Sebagian oknum di kalangan masyarakat kadang bertindak menyebalkan. Mereka ingin pandemi berakhir namun tak mau mematuhi protokol kesehatan. Para pelanggar seharusnya ingat akan sanksi dan denda yang menanti ketika ketahuan melanggar. Agar makin tertib dan disiplin dalam menaati protokol kesehatan.
Apa kabar Indonesia setelah mengalami pandemi selama 8 bulan? Jumlah pasien corona meningkat jadi 5.000 orang per hari. Sedihnya, hal ini terjadi karena masyarakat kurang disiplin dalam melakukan protokol kesehatan. Memang sudah banyak yang pakai masker tapi kadang lupa mengenakannya lagi setelah makan di warung. Atau memakainya saat ada razia saja.
Jika ada pengguna jalan yang tak memakai maker maka ia kena denda sebesar 100.000-150.000 rupiah, tergantung dari daerahnya. Karena yang menentukan besarannya adalah sang walikota. Ketika ia tak punya uang, maka bisa memilih hukuman sosial berupa membersihkan jalan raya atau pasar. Agar kapok dan tak lagi malas pakai masker.
Hukuman sosial juga berbeda-beda di tiap daerah. Di Mataram, ada pelanggar protokol kesehatan yang harus menyapu selokan. Sementara di Jakarta Timur sanksinya agak ekstrim, pelanggar harus masuk ke dalam peti mati agar merenungi kesalahannya. Di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, hukuman sosialnya adalah mengecat pembatas trotoar di Jl KS Tubun.
Masyarakat juga ada yang ngotot mengadakan pesta pernikahan atau acara yang mengundang banyak orang. Semua dilakukan hanya karena gengsi atau mengejar keuntungan dari amplop para tamu. Mereka seolah-olah lupa saat ini masih masa pandemi. Padahal aturannya adalah maksimal 30 orang tamu dalam acara akad nikah, termasuk keluarga sendiri.
Saat ada acara keramaian seperti ini lalu dibubarkan oleh tim satgas covid dan aparat, jangan malah marah dan menyalahkan pemerintah. Karena mereka hanya menjalankan tugasnya. Pesta tersebut, walau pengantinnya sudah bermasker, terbukti melanggar physical distancing. Jadi wajar jika dihentikan, agar mereka paham akan aturan saat pandemi.
Ada pula denda yang harus dibayar oleh penyelenggara acara maksimal 50 juta rupiah. Denda itu progresif, yang artinya seorang pelanggar wajib membayar hingga 2 kali lipat jika ketahuan tak menaati protokol kesehatan untuk kedua kalinya. Jumlah denda memang sangat besar, namun hal itu memang dimaksudkan untuk efek jera, agar ia benar-benar kapok.
Denda yang besar dan progresif bukanlah untuk kekejaman dan menzolimi rakyat, namun agar mereka taat pada peraturan. Bayangkan jika acara itu tak dibubarkan dan ada klaster corona baru yang terbentuk, ada berapa korban yang harus dirawat di Rumah Sakit? Biaya pengobatannya juga sangat tinggi, jauh melebihi denda yang dibayar, jika ia tak punya BPJS.
Selain itu, jika punya uang juga tak bisa langsung masuk Rumah Sakit. Bisa saja pasien disuruh rawat jalan dan isolasi mandiri selama 14 hari, karena semua kamar di Rumah Sakit dipenuhi oleh pasien corona. Padahal perawatan di rumah bisa saja kurang intensif. Apalagi ketika tidak disiplin saat isolasi mandiri, tubuh bisa drop dan nyawa terancam melayang.
Janganlah jadi orang yang egois dan malas pakai masker, serta ngotot mengadakan pesta besar. Karena dari 2 palanggarna tersebut, bisa memakan puluhan korban jiwa. Sayangi nyawa keluarga dan jangan sampai ada klaster corona baru gara-gara pesta pernikahan.
Ingatlah saat ini masih masa pandemi yang prihatin.
Seharusnya semua orang paham dan taat protokol kesehatan, pakai masker, cuci tangan, bawa hand sanitizer , dan menghindari kerumunan. Karena jika semua orang disiplin maka penularan corona tak akan terjadi, dan pandemi covid-19 akan segera berakhir.
)* Penulis aktif dalam Pemuda Peduli Bangsa