Oleh : Edi Jatmiko )*
Dulu, berbisnis dianggap pekerjaan yang sulit, karena pengusaha harus ulet dan pandai mencari peluang. Setelah mengembangkan bisnisnya, maka ia harus bertarung dengan birokrasi dan perizinan yang memusingkan. Namun saat ini ada harapan baru bagi pebisnis, karena UU Cipta Kerja memudahkan mereka dalam memperoleh legalitas usaha.
Masyarakat di Indonesia lebih banyak yang jadi pegawai daripada pengusaha, dan jumlah pebisnis hanya 3% dari seluruh WNI. Penyebabnya karena mereka kelelahan dengan pola kerja pengusaha yang berbeda dari pekerja kantoran. Belum lagi jika tersandung masalah perizinan. Jadilah cita-cita untuk jadi pengusaha kawakan menjadi ciut, padahal dunia bisnis menjanjikan masa depan yang cerah.
Padahal Indonesia butuh lebih banyak pengusaha untuk membangun negri. Untuk membantu mereka agar memiliki kepastian hukum dalam berbisnis, maka pemerintah meresmika UU Cipta Kerja pada bulan oktober 2020. Karena dalam UU ini ada klaster kemudahan berusaha, sehingga memudahkan langkah para pebisnis untuk mengembangkan usahanya.
Airlangga Hartarto, Menko Bidang Perekonomian menyatakan bahwa UU Cipta Kerja memberi kepastian hukum dan kemudahan dengan adanya standar, khususnya terkait dengan persyaratan dan proses perizinan berusaha. Tujuannya untuk menghindari penyimpangan dalam proses perizinan berusaha.
Penyimpangan yang dimaksud oleh Menteri Airlangga adalah ulah para oknum nakal yang sering mengutip pungutan liar (pungli) bagi pengusaha yang akan mengurus perizinan. Jika mereka ingin legalitas lekas selesai, maka harus menyetor uang hingga jutaan rupiah. Padahal pungli itu belum termasuk biaya izin HO yang mahal. Korupsi ini sudah dilakukan bertahun-tahun.
Jika UU Cipta Kerja dan aturan turunannya benar-benar dilakukan di lapangan, maka oknum nakal tersebut tak bisa beraksi lagi. Penyebabnya karena saat ini legalitas usaha bisa diurus via online, dan bisa selesai maksimal 7 hari kerja. Sehingga memperkecil penyimpangan berupa pungli, korupsi, dan kongkalingkong antara oknum dan pengusaha.
Airlangga melanjutkan, dalam UU Cipta Kerja perizinan diubah menjadi berbasis resiko, bukan lagi berbasis izin. Jika perizinan berbasis resiko, maka pengawasannya berdasarkan kegiatan bisnisnya. Jika ada pelanggaran dan tidak memenuhi syarat, maka seorang pengusaha bisa ditindak. Misalnya ketika ia meminta izin usaha warung kecil, ternyata praktiknya menjadi supermarket besar.
Dalam perizinan berbasis resiko, maka ada 3 kategori legalitas: resiko besar, sedang, dan rendah. Pengusaha UMKM masuk dalam resiko rendah, karena lahan yang ditempati relatif kecil dan resikonya minim. Sehingga ia tak harus mengurus izin HO, cukup dengan nomor izin berusaha (NIB).
Jika ia sudah punya NIB, maka akan lega karena usahanya sudah berizin. Sehingga warungnya tak bisa seenaknya dihalau oleh oknum nakal. Karena menurut hukum, bisnisnya sudah berizin dan tak melanggar aturan. Legalitas sangat penting sebagai identitas bahwa bisnis itu adalah usaha yang dikelola secara profesional.
Selain itu, ketika legalitas usaha sudah ada dalam genggaman, seorang pengusaha bisa mendapatkan izin ekspor dengan mudah. Karena salah satu syarat dalam mengekspor adalah memiliki legalitas bisnis. Ketika ia bisa menjangkau pasar global, maka usahanya akan lebih maju dan mendapatkan lebih banyak penghasilan.
Ketika ia mengembangkan usahanya dan sudah masuk ke pasar global, maka butuh karyawan lagi, untuk menambah kapasitas produksi. Sehingga pebisnis bisa mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Oleh karena itu, UU Cipta Kerja sangat penting karena menguntungkan pengusaha sekaligus pekerja.
Pengusaha sangat diuntungkan oleh UU Cipta Kerja karena ada klaster kemudahan berusaha, sehingga mereka mendapatkan legalitas dengan mudah. Perizinan bisa diurus lewat situs, sehingga menghemat waktu dan biaya transportasi. Legalitas juga lekas selesai, sehingga mereka bisa lega karena usahanya sudah berizin dan bisa dikembangkan di masa depan.
)* Penulis adalah pengamat sosial politik