Oleh : Made Raditya )*
FPI kembali berbuat onar karena ketahuan mencaplok lahan milik negara. Mereka mengklaim bahwa tanah itu sudah dibeli, namun tidak ada sertifikat sebagai bukti. Publik makin tidak bersimpati pada ormas itu, karena bertindak seenaknya sendiri dan merugikan negara.
Setelah sang panglima dicokok, FPI kembali jadi headline. Kali ini mereka terciduk dengan semena-mena mengambil alih tanah milik PTPN VII di area Afdeling Cikopo Selatan Perkebunan Gunung Mas, Megamendung, Kabupaten Bogor. Tak tanggung-tanggung, luas tanah yang diserobot sebesar 30,91 hektar. Di atas tanah itu sudah berdiri bangunan untuk Markaz FPI.
Pengambilalihan tanah milik perusahaan negara itu tentu melanggar hukum, karena sertfikat tanahnya masih atas nama PTPN. Mereka bisa ditindak karena membuat bangunan tanpa izin dan merugikan aset PTPN. Gedung yang sudah berdiri bisa diancam dirubuhkan, karena dianggap bangunan liar.
Perwakilan tim kuasa hukum FPI mengelak tuduhan penyerobotan, karena mereka sudah membayar tanah tersebut kepada petani yang mengolah lahan tersebut. Namun buktinya hanya selembar kuitandsi dan surat tanda oper alih lahan dari warga bernama Beni. Spontan pernyataan itu ditertawakan masyarakat, karena mereka tak memiliki sertifikat seperti HGB dan HGU.
Bagaimana bisa seseorang membeli tanah sedemikian luasnya tanpa meminta sertifikat resmi? Jangan-Jangan mereka yang ditipu oleh orang yang mengaku pemilik lahan? FPI katanya punya tim ahli hukum, tapi tidak memahami hukum. Walau sudah tak difungsikan, bukan berarti jadi lahan liar, karena status hukum tanah itu tetap milik negara.
PTPN lalu mensomasi FPI karena mengambil tanah negara tanpa izin, dan markaz syariah milik mereka terancam digusur. Namun ormas itu ngotot dan berkata bahwa lahan itu sudah tak digunakan selama 25 tahun. Padahal menurut sejarahnya, lahan milik PTPN itu yang dulunya diambil alih oleh warga, lalu dibeli oleh FPI.
Gunara, mantan Direktur Manajemen Aset PTPN VII menerangkan bahwa lahan milik FPI itu, menurut sejarahnya, adalah kepunyaan negara yang diserobot oleh penduduk sekitar. Dari total 1.623 hektar lahan itu, yang diambil alih secara sepihak mencapai 352 hektar. Mereka tak bisa mengelak, karena di BPN, sertifikat tanah itu masih atas nama PTPN.
Kasus ini membuat masyarakat heran karena ormas seperti FPI mendirikan markas sekaligus tempat pengajaran di atas lahan yang ternyata berstatus ilegal. Bagaimana bisa mereka mendapatkan keberkahan, jika mengambil alih tanah seenaknya sendiri? Tak heran makin banyak orang yang ingin ormas ini dibubarkan, karena berkali-kali merugikan negara dan berbuat onar.
FPI juga tak bisa beralasan jika banyak lahan negara yang diserobot karena tak difungsikan lagi, dan menanyakan mengapa hanya mereka yang dipermasalahkan? Penyebabnya karena bukan kapasitas mereka untuk mengurusinya. Untuk apa mencampuri masalah negara jika tidak punya jabatan apa-apa di pemerintahan? Mereka hanya bisa menyerang tanpa memiliki bukti otentik.
Indonesia adalah negara hukum, jika FPI melanggar hukum, maka harus ditindak. Mereka tak bisa lagi playing victim dan berakting kembali sambil meminta belas kasih publik, bahwa kasus di Megamendung ini adalah kriminalisasi pemuka agama. Karena yang bersalah adalah seorang warga negara biasa. Menjadi pemuka agama bukan berarti otomatis kebal hukum.
FPI harus mau mengembalikan lahan yang mereka rebut dari PTPN, karena walau tanahnya belum difungsikan lagi, tetap masih sah milik negara. Mereka tak boleh beralasan macam-macam, karena dalam sertifikat terbukti milik PTPN. Masyarakat makin antipati terhadap ormas ini karena selalu menyalahkan negara dan berani menyerobot aset milik pemerintah.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Tangerang