Oleh : Asjad Agustino )*
Keputusan pembubaran FPI dianggap sudah tepat. Masyarakat pun mendukung upaya penegakan hukum tersebut karena FPI menjadi Ormas yang selalu meresahkan masyarakat dan tidak memiliki kontribusi positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemerintah telah resmi membubarkan Front Pembela Islam (FPI). Pembubaran ini rupanya memantik dukungan dari Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Kolektif Kosgoro 1957, Sabil Rachman menilai bahwa kebijakan pemerintah tersebut sebagai salah satu bentuk tanggungjawab negara dalam menegakkan hukum. Sebagaimana diketahui bahwa telah sekian lama Surat Keterangan Terdaftar / SKT yang dimiliki oleh FPI sudah habis masa berlakunya.
Dalam sebuah keterangan tertulis, ia menuturkan bahwa FPI bubar atau dibubarkan sebenarnya bukan karena persoalan ideologis melainkan teknis belaka di luar aturan regulatif.
Oleh karena itulah keputusan pemerintah yang disampaikan saat itu tentang pembubaran FPI tersebut lebih sebagai penegasan politik belaka dan justifikasi dari negara kepada publik bahwa FPI sudah habis legitimasinya sebagai ormas berdasarkan SKT yang selama ini menjadi dasar aktifitasnya.
Ia juga menilai bahwa pembubaran FPI merupakan peringatan bagi ormas yang lain untuk memahami posisinya, jika sudah tidak memiliki legitimasi negara maka tidak boleh melakukan aktifitas kemasyarakatan.
Setelah penegasan pemerintah tersebut, maka publik diharapkan dapat menilai secara obyektif, seperti apa posisi FPI dalam kaitannya dengan semangat menegakkan hukum yang selama ini diteriakkan sementara statusnya tanpa dasar hukum.
Pada kesempatan berbeda, pihak kepolisian mengancam akan membubarkan FPI model baru atau turunan-turunannya, seperti Front Persatuan Islam yang telah dideklarasikan di daerah-daerah. Hal ini dilakukan apabila ormas tersebut tidak terdaftar dan tidak mengikuti aturan yang berlaku.
Maka dari itu, Rusdi mengatakan bahwa setiap ormas tidak bisa seenaknya dan harus terdaftar serta mengikuti undang-undang yang berlaku sebagai ormas, jika ingin diakui sebagai ormas dengan undang-undang tentang keormasan.
Secara terpisah, FPI menyatakan bahwa pihaknya tidak akan mendaftarkan diri sebagai ormas ke pemerintah. Tim kuasa hukum FPI Aziz Yanuar mengatakan mendaftarkan ormas adalah hal yang tidak penting.
Ia mengatakan yang terpenting saat ini adalah mengawal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menuntaskan penyelidikan kasus meninggalnya 6 Laskar FPI saat bentrok dengan aparat kepolisian.
Aziz menuturkan mantan pentolan FPI, Rizieq Shihab yang kini mendekam di Polda Metro Jaya karena kasus kerumunan di Petamburan sempat mengusulkan nama akronim FPI diubah menjadi Front Persaudaraan Islam.
Pemerintah juga telah menetapkan bahwa FPI sebagai organisasi terlarang. SKB itu ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Kapolri, Jaksa Agung dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
SKB yang resmi tersebut, menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan pelarangan dan pembubaran setiap kegiatan organisasi yang digawangi oleh Rizieq Shihab.
Dalam SKB itu juga disebutkan masyarakat bisa melapor jika menemukan FPI melakukan kegiatan dan polisi berhak membubarkan setiap kegiatan FPI. Hingga kini, FPI belum melengkapi persyaratan sehingga belum mengantongi perpanjangan izin.
Tak hanya di Indonesia, media asing juga turut menyoroti pembubaran FPI, seperti straits times, Channel News Asia dan The Star. Ketiga media tersebut mewartakan pemberitaan FPI sebagai organisasi Islam garis keras.
Media asing juga menggambarkan FPI sebagai organisasi yang kerap mengintimidasi kelompok agama minoritas di Indonesia. Nyatanya, FPI merupakan ormas yang cenderung intoleran, hal ini dibuktikan ketika Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia pada suatu pagi di hari minggu tahun 2012.
Siapa sangka, niatnya dalam beribadah berujung petaka, ketika mendadak puluhan orang berjubah putih dengan label FPI telah memenuhi pelataran Gereja. Mereka menghadang para jemaat yang hendak beribadah.
Pendeta Palti selaku pemimpin ibadah mengaku, bahwa tak jarang jemaat harus menerima lemparan telur busuk hingga air comberan dalam perjalanan menuju gereja. Saat beribadah pun, Kelompok FPI itu juga melakukan demo dengan pengeras suara hingga mengganggu para jemaat yang tengah berdoa.
Palti juga sempat meminta kepada Presiden Jokowi, agar masyarakat di Indonesia dapat dengan bebas beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Masyarakat tentu sudah tahu bahwa rekam jejak FPI kerap melancarkan aksi yang terkesan arogan seperti menutup paksa warung makan yang buka pada siang hari, hal ini ditambah dengan keengganan FPI untuk mengurus surat perpanjangan, tentu saja wajar terjadi jika FPI dibubarkan.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Semarang