Oleh : Firza Ahmad )*
Rizieq Shihab mendekam di dalam penjara karena beberapa kasus yang membelitnya. Penegakan hukum terhadap mantan panglima FPI ini dirasa sudah tepat, karena ia terbukti melanggar peraturan, mulai dari protokol kesehatan hingga terbukti menghasut massa. Ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan jangan dibela masyarakat.
Penahanan Rizieq Shihab selama 6 tahun membuat pendukungnya makin emosional. Bahkan ada yang menyerahkan diri ke kantor polisi dan ingin bertukar posisi, agar ia saja yang ditahan. Selain itu, ex anggota FPI berusaha mengambil hati masyarakat dengan lagi-lagi bermain drama. Mereka bertindak seakan-akan jadi korban dari ketegasan pemerintah.
Padahal Rizieq Shihab jelas bersalah karena sudah berkali-kali melanggar peraturan dan meresahkan masyarakat. Sehingga hukuman yang didapat dirasa setimpal dengan perbuatannya. Walau berstatus sebagai penceramah, namun bukan berarti ia kebal hukum. Karena Indonesia adalah negara hukum dan tidak pandang bulu terhadap siapapun yang bersalah.
Indriyanto Seno Adji, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana menyatakan bahwa penahanan Rizieq Shihab sudah tepat. Pasal yang menjerat pria itu juga sesuai dengan kasus yang dialaminya. Yakni pasal 160 KUHP tentang penghasutan, pasal 216 tentang melawan petugas, dan pasal 93 UU no. 6/208 tentang UU kekarantinaan kesehatan.
Rizieq terjerat pasal penghasutan karena terbukti berkali-kali melakukan hate speech terhadap pemerintah dan mempengaruhi masyarakat untuk memusuhinya juga. Selain itu, ia dan FPI memaksa untuk mengganti pancasila dengan sistem kekhalifahan. Bahkan ia juga ketahuan mendukung ISIS di salah satu pidatonya, sehingga bisa dikategorikan kaum separatis yang radikal.
Sementara pasal 216 KUHP menjelaskan hukuman terhadap seseorang yang melawan petugas. Rizieq berkali-kali mangkir dari panggilan Polda Metro Jaya, padahal saat itu baru berstatus sebagai saksi. Bahkan anggota FPI kala itu turut berjaga sampai di depan gang rumahnya. Karena tidak segera datang, maka menurut hukum, ia dinaikkan statusnya menjadi tersangka.
Sementara yang paling menjerat Rizieq adalah kasus kerumunan, karena ia melanggar physical distancing, dengan menggelar pesta pernikahan yang didatangi 10.000 orang. Beberapa kali, ceramahnya juga mengundang massa. Mengundang kerumunan di masa pandemi sangat berbahaya, buktinya ada 80 orang yang tertular corona setelah mendatangi acaranya Rizieq.
Pasal kekarantinaan juga menjerat Rizieq, karena ia menolak untuk isolasi mandiri dan ngotot tak mau tes swab ulang. Padahal setelah datang dari luar negeri, tiap orang harus dikarantina minimal 14 hari.
Peraturan ini ditegakkan agar semua orang, termasuk dirinya sendiri, aman dari corona. Penyebabnya karena makin banyak OTG yang tertular saat dalam perjalanan.
Jika sudah banyak pasal yang ia langgar, untuk apa lagi dibela? Karena ia sudah membahayakan bagi banyak orang yang tertular corona. Jika seseorang sudah terinfeksi virus covid-19, apalagi bersatus komorbid alias punya penyakit bawaan, akan susah sembuh.
Bahkan kehilangan nyawa. Kasus ini tak bisa disepelekan, karena menyangkut nyawa orang lain.
Lagipula, polisi sudah menepati janji untuk bersikap adil dan menjunjung azas kemanusiaan. Buktinya saat diperiksa di hadapan penyidik, Rizieq diberi makan dengan menu yang layak, sama seperti yang dikonsumsi oleh polisi. Ia juga diberi kesempatan untuk beribadah di tempat yang bersih. Salah besar jika ada yang menuduh pemerintah dan aparat melanggar hak asasi manusia.
Penahanan Rizeq Shihab jangan dibesar-besarkan, apalagi dianggap sebagai kriminalisasi ulama. Karena ia terbukti melanggar protokol kesehatan (physical distancing), melakukan penghasutan, dan menolak panggilan dari Polda Metro Jaya. Biarlah ia mendekam di bui selama 6 tahun untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Bogor