21/01/2021 – Serangkaian teror yang dilakukan Organisasi Papua Merdeka (OPM) belum berhenti. Selain disebut menyuarakan perlawanan terhadap negara, OPM juga meneror warga sipil di Papua. Atas dasar itu berbagai pihak meminta OPM ditetapkan sebagai kelompok teroris.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP), Efriza mengungkapkan bahwa sudah selayaknya OPM dilabeli sebagai organisasi teroris. Karena aksi yang dilakukan selama ini bukan hanya memakan korban dari kalangan aparat keamanan, tetapi juga masyarakat Papua. “OPM selama ini menolak secara tegas Otonomi Khusus (Otsus) Papua secara brutal dan meminta agar Papua merdeka penuh dari Indonesia,” ujar Efriza.
Presiden Jokowi tegas menyebut bentuk nyata kehadiran negara diimplementasikan dengan pendekatan kesejahteraan melalui pemberian dana Otsus yang ditingkatkan dan berbagai pembangunan infrastruktur. Namun di sisi lain, menurut dia, tindakan OPM malah berseberangan dengan sikap pemerintah yaitu dengan menunjukkan perlawanan yang seolah mereka tidak suka apabila Papua sejahtera.
Lanjut Efriza, memasukkan OPM sebagai organisasi teroris di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan suatu keharusan. “Konsekuensinya ketika jadi organisasi teroris maka tidak dapat diintervensi negara PBB dan untuk membatasi ruang gerak OPM misalnya tidak dapat sumbangan dana dari negara luar,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris mengatakan selama ini label teroris selalu ditujukan pada kelompok yang melakukan aksi teror dengan menggunakan simbol keagamaan. Namun menurut dia masyarakat kurang “aware” pada aksi teror OPM yang selama ini dilakukan telah memakan korban baik dari kalangan aparat keamanan dan masyarakat sipil Papua.
“Varian radikalisme di Indonesia bisa dikategorikan pada tiga hal yaitu dalam hal politik, keyakinan, dan tindakan. Kategori Politik dan tindakan bisa dilihat pada OPM yaitu tindakan brutal yang menyebarkan aksi teror,” ujarnya. Menurut Irfan, meskipun aksi teror OPM tidak berbasis pada simbol keagamaan namun lebih pada aspek geografis. Hal itu justru lebih berbahaya karena kalau dibiarkan terus-menerus akan menghabisi wilayah Republik Indonesia.