Oleh : Zainudin Zidan )*
UU Cipta Kerja didesain pemerintah agar tak hanya menguntungkan para pekerja dan pengusaha, tapi juga petani. Akan ada kemudahan partnership dan investasi. Sehingga mereka menjadi petani modern yang menangguk banyak uang. Indonesia tak hanya jadi negara agraris yang maju, tapi juga punya industri pengolahan pangan yang mumpuni.
Indonesia terkenal akan kekayaan alamnya, namun mengapa petani masih saja miskin? Profesi petani kalah tenar dengan pengusaha atau PNS. Karena dianggap kurang bergengsi dan pendapatannya kurang stabil. Padahal jasa para petani sangat besar, karena mereka yang menjaga ketahanan pangan masyarakat Indonesia.
Untuk menolong para petani sekaligus mengatasi masalah ketahanan pangan di Indonesia, maka pemerintah membuat UU Cipta Kerja. UU sapujagat ini juga ikut membantu para petani, karena ada klaster pertanian. Sehingga petani akan merasa terbantu, karena pemerintah merancang UU ini agar mereka tak lagi terjebak dalam rayuan tengkulak nakal.
Lantas bagaimana cara pemerintah menyelamatkan para petani melalui UU? Aturanlah yang perlu untuk dibenahi terlebih dahulu. Karena kita sudah terlalu lama terjebak birokrasi. Sehingga ketika ada aturan investor asing yang boleh masuk ke Indonesia dengan jaminan kemudahan berusaha, akan bisa joint venture dengan para petani.
Para petani bisa diajak bekerja sama dengan membuat pabrik pengolahan hasil bumi. Misalnya singkong tidak hanya dijual begitu saja, namun diolah jadi tepung mocaf, sehingga harganya berlipat ganda. Mocaf digemari masyarakat modern karena bebas gluten. Sehingga aman dikonsumsi bagi penyintas diabetes dan anak-anak autis.
Wakil Ketua KADIN Bidang Pengolahan Makanan dan Industri Juan Permata Adoe menyatakan bahwa implementasi UU Cipta Kerja akan membuat percepatan di sektor pertanian. Karena ada pula program P3 (public private partnership). Antara pengusaha, petani, dan BUMN.
Kerja sama ini akan membuat petani diuntungkan, karena mereka dibina oleh BUMN dan diberi gemblengan oleh pengusaha. Sehingga akan ada kerja sama yang saling menguntungkan, dan mereka tidak akan gigit jari karena gagal panen. Petani akan mendapat ilmu, tak hanya uang kontan.
Pengusaha akan mem-briefing petani bagaimana cara pemasaran modern, misalnya menghubungi mereka melalui WA dan menjual dagangan hasil bumi secara online. Para petani tidak akan tergantung pada tengkulak nakal, yang mempermainkan harga dan membuat mereka rugi besar. Bahkan mereka berani menolak sistem ngijon.
Syahroni, Direktur Institut Agroekologi, menyatakan bahwa UU Cipta Kerja memang bagus. Namun perlu digarisbawahi aturan turunannya, dalam artian jangan sampai bentrok dengan pasal pada UU tersebut. Menurutnya, UU Cipta Kerja harus memberi ruang kepada 2 mahzab pertanian, yakni pertanian modern dan pertanian ramah lingkungan.
Bisa jadi kita kalah dari petani di Eropa karena kurangnya modernisasi alat kerja. Sistem pembajakan manual atau dengan kerbau bisa diganti dengan traktor kualitas bagus. Sedangkan untuk menyemprot pupuk bisa dengan alat khusus yang ditempel pada drone. Sehingga hasil tani yang didapatkan akan lebih montok, subur, dan cepat panen. Semua ini karena UU Cipta Kerja.
Sementara itu, aturan turunan dalam UU Cipta Kerja juga sebaiknya pro pada pertanian ramah lingkungan. Saat ini sedang trend sayur dan buah organik, sehingga petani tidak boleh membasmi hama dengan pestisida kimiawi. Mereka seharusnya pakai pupuk alami dan insektisida ramah lingkungan, sehingga hasil taninya 100% organik.
Sayur dan buah organik lebih mahal jika dijual. Sehingga akan menguntungkan petani. Mereka bisa mengandalkan hasil pertanian sendiri, karena menguasai ilmu pertanian modern dan ramah lingkungan, serta bisa memasarkannya sendiri. Petani akan jadi tuan rumah di negeri sendiri dan kita tidak usah impor lagi.
Implementasi UU Cipta Kerja dan aturan turunannya di bidang pertanian harus dilakukan dengan baik. Tujuannya agar para petani sejahtera dan mereka tak terlilit rayuan lintah darat, karena lagi-lagi gagal panen. UU Cipta Kerja dan aturan turunannya memang harus merangkul petani, agar kita bisa swasembada hasil bumi dan bahkan berani mengekspornya.
)* Penulis adalah kontributor Milenial Muslim Bersatu Bandung