Oleh : Alfisyah Kumalasari )*
UU Cipta Kerja dibuat oleh pemerintah, demi kesejahteraan rakyat. Namun sayang kesuksesannya dibarengi oleh hoaks, yang sengaja disebarkan oleh oknum. Kita bisa tangkal hoaks dan ikut menyukseskan UU Cipta Kerja, dengan gerakan literasi positif. Gerakan ini bisa membuka mata masyarakat dan mengedukasi bahaya hoaks.
Ketika internet mulai booming di Indonesia, sejak awal tahun 2000, maka arus informasi begitu dahsyatnya. Masyarakat yang suka membaca berita di media online dan medsos merasa lebih praktis, karena bisa mendapat berita hanya dengan sekali klik. Namun sayang banyaknya informasi tidak diiringi dengan kemampuan untuk menyaring hoaks.
Ketidakmampuan untuk mengenali hoaks bisa jadi karena netizen mengira berita online dan berita di koran konvensional itu sama kualitasnya. Padahal ada situs abal-abal yang sengaja dibuat untuk menyebar hoaks dan ‘mencuci’ pikiran masyarakat. Mereka memproduksi berita palsu, termasuk hoaks mengenai UU Cipta Kerja.
Hoaks UU Cipta Kerja yang beredar di antaranya adalah, kabar bahwa pemerintah membuka pintu lebar-lebar bagi para tenaga kerja asing. Padahal yang benar adalah para TKA baru boleh masuk ke Indonesia, jika memiliki keahlian khusus. Tidak sembarang tenaga kerja asing boleh masuk, dan mereka bukanlah pekerja kasar. Melainkan punya jabatan sebagai teknisi, karena mengajari pegawai lokal yang punya alat kerja baru.
Selain itu, ada pula hoaks yang menyebutkan bahwa pemerintah menghapus UMK. Memang betul istilah UMK ditiadakan, namun diganti dengan UMP (upah minimum provinsi). Nominalnya bahkan lebih besar, karena ditentukan oleh sang Gubernur. Selain itu, pekerja yang sudah mengabdi selama lebih dari 2 tahun diharuskan digaji melebihi UMP. Jadi perubahan ini malah menguntungkan.
Untuk menangkal hoaks tentang UU Cipta Kerja, maka kita memakai literasi positif. Apa hubungan antara hoaks dengan literasi? Ternyata, sebuah hoaks beredar luas karena pembacanya kurang memiliki kemampuan literasi. Sehingga ia terlalu mudah percaya narasi berita palsu yang biasanya terlalu heboh, lalu men-share tanpa mengecek kebenarannya terlebih dahulu.
Kemampuan literasi yang tinggi bisa didapatkan dari banyak membaca buku dan media berkualitas baik. Selain menggencarkan hobi membaca, maka juga diadakan Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi. Literasi di dunia digital digalakkan, agar kemampuan membaca dan menganalisa masyarakat makin baik dan tidak mudah terperosok hoaks.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menjelaskan bahwa masyarakat di era digital mudah mendapatkan berbagai informasi. Namun dalam kemudahan arus informasi di dunia maya, ada penyebaran konten negatif seperti hoaks. Sehingga Gerakan Nasonal Literasi Digital Siberkreasi menanggulangi hal-hal tersebut.
Masyarakat yang tergabung dalam Siberkreasi semangat dalam menghalau hoaks di dunia maya. Ketika ada berita atau foto palsu mengenai UU Cipta Kerja, maka bisa langsung di-report ke FB atau IG, sehingga dihilangkan. Mereka juga turut mengingatkan ketika ada yang menyebarkan berita tentang UU tersebut, yang ternyata hanya hoaks.
Rudiantara melanjutkan, ia mendukung Siberkreasi untuk menyebarkan literasi digital. Bersama dengan Siberkreas, kita mendorong netizen Indonesia untuk aktif berpartisipasi dalam menyebarkan konten positif secara konsisten di dunia maya. Sehingga masyarakat lebih produktif dengan memanfaatkan teknologi.
Dengan literasi positif maka media sosial akan dibanjiri dengan konten positif. Sehingga lama-lama hoaks tentang UU Cipta Kerja akan tenggelam dan diacuhkan oleh netizen. Mereka akan percaya bahwa UU ini dibuat oleh rakyat, dan tidak mungkin pemerintah menjerumuskan banyak orang.
Mari kita dukung UU Cipta Kerja dengan memukul hoaks di dunia maya. Caranya dengan bergabung dalam Gerakan Literasi Digital Siberkreasi, dan aktif menyaring hoaks di media sosial. Selain itu, buatlah konten positif mengenai UU Cipta Kerja, sehingga masyarakat tidak akan percaya pada hoaks tentangnya.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiwa Cikini