Oleh: Raymond Kamindra*
Pemerintah Indonesia resmi memulai vaksinasi Covid-19 pada 13 Januari 2021. Untuk saat ini, vaksin Covid-19 buatan Sinovac menjadi pilihan pemerintah. Namun, beberapa keraguan dan pertanyaan muncul di publik akibat angka efikasi vaksin Sinovac yang hanya 65,3%. Angka ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan efikasi vaksin lainnya.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Amin Soebandrio menjelaskan, angka efikasi 65,3% bukan berarti bahwa apabila 100 orang divaksin, 65 orang akan kebal, dan 35 orang tidak kebal. Meskipun vaksin Sinovac memiliki efikasi di bawah vaksin lain, tetapi saat ini belum ada satu studi yang membandingkan vaksin satu sama lain. Masing-masing pembuat vaksin melakukan klaim angka efikasi tersebut.
Kinerja vaksin dipengaruhi berbagai hal, seperti etnis, latar belakang genetik, gaya hidup, hingga rentang usia. Menurut Amin Soebandrio, efikasi diperoleh ketika vaksin masih dalam fase uji klinis. Dalam fase tersebut, subjek vaksin masih terkontrol. Begitu pula dengan kondisi vaksin.
Dengan begitu, angka efikasi belum bisa menentukan efektivitas vaksin Covid-19. Sebab, apabila vaksin tersebut telah diberikan ke masyarakat luas, dengan berbagai hambatan pengiriman, efektivitas vaksin bisa berubah.
Contoh Praktis Efikasi Sinovac penelitian di Indonesia 65%, di Brazil hanya 50% dan Pfizer 90%. Bila 100 juta penduduk Indonesia, jika tanpa vaksinasi ada 8,6 juta yang bisa terinfeksi, jika vaksinasi Pfizer dengan efikasi 90% maka jumlah penduduk yang terinfeksi turun 90 persen dengan vaksinasi, maka hanya 1,9 juta penduduk yang terinfeksi, selisih 7,7 juta,
Bila 100 juta penduduk Indonesia, jika tanpa vaksinasi ada 8,6 juta yang bisa terinfeksi, jika menurut penelitian di Indonesia vaksin Sinovav efikasinya 65% maka yang terinfeksi tanpa vaksinasi penduduk turun 65 persen dengan vaksinasi, maka hanya 3 juta penduduk yang terinfeksi, selisih 5,6 juta,
Dengan efikasi yang tinggi, maka cakupan rasio vaksinasi bisa dilakukan tidak terlalu tinggi.
Tapi kalau efikasinya tidak terlalu tinggi, maka cakupan vaksinasinya harus lebih besar. Ketika vaksin diberikan kepada populasi, faktor-faktor, seperti obat-obatan yang diminum, penyakit kronis yang mendasari, usia, dan bagaimana vaksin disimpan dan diberikan dalam kondisi sehari-hari, dapat mengurangi efektivitas vaksin dalam mencegah penyakit.
Setelah efikasi vaksin ditentukan, mengukur tingkat efektivitas sangat penting untuk memastikan penyerapan vaksin dan untuk memahami bagaimana mengembangkan vaksin yang lebih baik. Data pengawasan sangat penting untuk memahami keefektifan, seperti halnya data imunisasi – menangkap data, misalnya, kapan orang mendapatkan vaksin dan berapa proporsi populasi di negara tertentu yang tercakup.
Efektivitas vaksin diukur dalam apa yang oleh ahli epidemiologi disebut studi observasi karena partisipan tidak secara acak ditugaskan untuk pengobatan versus kelompok plasebo. Misalnya, studi kasus kontrol menilai efektivitas dengan membandingkan status vaksinasi individu yang mengembangkan penyakit (kasus) dengan sekelompok individu tanpa penyakit (kontrol) yang juga mewakili populasi dari mana kasus tersebut muncul. Jika vaksinnya efektif, kasusnya lebih mungkin pada individu yang tidak divaksinasi. Vaksin tidak selalu harus memiliki keefektifan yang luar biasa tinggi agar dapat bermanfaat, misalnya vaksin influenza 40-60% efektif namun menyelamatkan ribuan nyawa setiap tahun.
*penulis adalah pemerhati kesehata