Ekonomi Indonesia Tetap Resilien di Tengah Dinamika Global
Jakarta — Perekonomian Indonesia terus menunjukkan ketahanan yang kuat di tengah dinamika global yang penuh tantangan. Kondisi ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang solid, inflasi yang terkendali, serta kinerja ekspor yang menguat di tengah tren penurunan suku bunga dunia.
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa prospek ekonomi nasional semakin positif di tengah gejolak eksternal, termasuk kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Amerika Serikat.
“Kinerja ekonomi berbagai negara masih resilien hingga tahun 2025, meskipun AS pada periode yang bersamaan menerapkan tarif resiprokal tinggi. Indonesia menjadi bagian dari kelompok negara yang resilien,” ujar Menkeu Purbaya.
Optimisme ini turut didukung oleh langkah International Monetary Fund (IMF) yang merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Indonesia termasuk salah satu negara yang diproyeksikan tumbuh lebih baik, dari 4,7 persen menjadi 4,8 persen pada 2025. Pemerintah bahkan yakin realisasi pertumbuhan bisa melampaui proyeksi tersebut.
“Saya pikir kita akan lebih dari situ ya. Bahkan tahun ini pun akan di atas 4,8 persen,” pungkas Menkeu Purbaya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekonomi Indonesia tumbuh 5,12 persen pada triwulan II-2025. Pertumbuhan ini ditopang konsumsi rumah tangga yang naik 5 persen, serta investasi yang menguat hampir 7 persen. Sektor manufaktur, yang menjadi kontributor terbesar, juga mencatatkan kinerja impresif dengan pertumbuhan 5,68 persen, tertinggi sejak 2022.
“Jadi manufaktur kita di Q2 sudah mulai recover. Mungkin Q3 agak melambat sedikit, tapi Q4 pasti akan tumbuh lebih cepat lagi melalui dengan perbaikan ekonomi dan perbaikan demand karena supply uang ditambah di sistem perekonomian,” tegas Menkeu Purbaya.
Kinerja ekspor juga memperlihatkan tren positif. Berdasarkan data Bea Cukai hingga Agustus 2025, ekspor Indonesia tumbuh 7,8 persen secara tahunan, dengan sektor industri pengolahan dan hilirisasi mineral menjadi motor utama. Neraca perdagangan kumulatif Januari–Agustus 2025 bahkan melonjak lebih dari 50 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
“Ini pertumbuhan yang amat spektakuler. Walaupun orang bilang karena mau ada tarif, mereka ini duluan front loading, tapi kalau saya lihat tetap aja tumbuh,” tambah Menkeu Purbaya.
Faktor lain yang memperkuat daya tahan ekonomi ialah inflasi yang stabil. Hingga Agustus 2025, inflasi tercatat 2,31 persen (year on year), level yang dinilai ideal dalam konsensus global. Kondisi ini mendukung daya beli masyarakat tetap terjaga dan lebih sehat dibanding sejumlah negara kawasan.
“Inflasi yang bagus itu bukan nol, bukan juga di atas 10 persen. Tapi sekarang konsensus ekonomi global antara 1 sampai 3 persen dan kita sekarang di 2,3 persen, level yang pas,” jelas Menkeu Purbaya.
Pemerintah juga terus menguatkan sinergi kebijakan fiskal dan moneter. Bank Indonesia sebelumnya menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin untuk memperlonggar likuiditas perbankan serta mendorong pembiayaan produktif.
“Sekarang semuanya sudah kita set agar ekonomi bergerak lebih cepat. Konsumsi dan investasi akan naik karena bunga turun, dan multiplier effect untuk pertumbuhan akan semakin signifikan,” tutup Menkeu Purbaya.
Dengan kombinasi faktor eksternal yang membaik, inflasi stabil, serta permintaan domestik yang kuat, prospek ekonomi Indonesia hingga akhir 2025 dipandang semakin optimistis. Momentum ini diyakini menjadi landasan penting untuk menjaga pertumbuhan yang lebih tinggi dan berkelanjutan di masa mendatang.