impresionis.com – Tanggal 1 Mei selalu diidentikan dengan Hari Buruh Internasional. Namun di Indonesia, lebih khusus di Papua, ada perayaan lain pada setiap tanggal tersebut, yakni Hari Integrasi Papua ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Peringatan 1 Mei merupakan penegasan bahwa rakyat Papua secara demokratis memilih untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari NKRI. Namun, masih terdapat kelompok di Papua yang mengingkari sejarah dan sibuk membuat narasi negatif demi ambisi pribadi, salah satunya dengan memutarbalikkan fakta dan menyuarakan bahwa tanggal 1 Mei adalah hari aneksasi atau pencaplokan Papua secara paksa oleh Indonesia.
Malahan, kelompok yang menamakan diri Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) merencanakan sebuah aksi massa dengan mengusung tema “60 Tahun Aneksasi Bangsa Papua ke dalam Negara Kolonial Republik Indonesia” yang akan berlangsung pada 1 Mei 2023. Agenda seperti ini tentunya berdampak kepada terganggunya kenyamanan masyarakat dalam beraktivitas. Ditambah lagi, potensi untuk berkembang menjadi aksi yang anarkis pun akan selalu mengancam, yang mana bisa terjadi tindakan-tindakan merusak fasilitas umum atau mungkin hingga jatuhnya korban luka. Sehingga, kita sebagai masyarakat yang cerdas sudah sepatutnya menolak aksi tersebut.
Integrasi Papua ke NKRI Sah dan Demokratis
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 menjadi salah satu catatan sejarah yang menggambarkan keinginan masyarakat Papua ingin kembali ke Indonesia. Bahkan jauh sebelum Pepera, keinginan rakyat Papua bergabung dengan Indonesia sudah muncul sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Para pemuda Papua hadir dan berikrar bersama pemuda daerah lainnya ketika itu.
Jika kemudian ada pihak yang memutarbalikkan sejarah dan menyangkal fakta integrasi Papua ke NKRI, mereka hanyalah kelompok minim sejarah.
Bangsa ini, bahkan dunia internasional, sudah sepakat dan mengakui bahwa Papua mutlak bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Act of free choice berupa Pepera adalah proses yang sah karena telah memperhatikan berbagai prinsip internasional.
Pepera dimulai dari Merauke, ujung timur Indonesia, pada 14 Juli 1969, hingga terakhir diadakan di Jayapura pada 4 Agustus 1969. Mayoritas wakil yang hadir memilih bersatu dengan NKRI. Pelaksanaan Pepera turut disaksikan utusan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), utusan dari Australia, serta utusan dari Belanda. Pemerintah Indonesia dengan PBB telah sepakat untuk menggunakan sistem perwakilan bukan sistem one man one vote saat Pepera mengingat adanya kendala secara geografis dan demografis. Sistem perwakilan itu sendiri juga merupakan wujud dari demokrasi. Dalam budaya Papua sendiri, apabila tokoh adat setempat memilih pilihannya maka pilihan ketua adat akan diikuti oleh masyarakatnya.
Hasil Pepera kemudian diserahkan kepada Dr. Fernando Ortiz Sanz (wakil PBB untuk mengawasi Pepera) untuk dilaporkan pada saat Sidang PBB ke-24 pada 19 November 1969. Sebanyak 84 negara anggota PBB menyetujui penggabungan Papua ke wilayah Indonesia, hanya 30 negara yang abstain, dan tidak ada satu negara pun yang tidak setuju. Pihak Belanda sendiri menunjukkan sikap menghormati keputusan rakyat Papua. PBB menyatakan bahwa Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia dan dihapus dari daftar dekolonisasi PBB dengan disahkannya Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504.
Jangan Putarbalikkan Sejarah 1 Mei
Fakta sejarah dari peringatan 1 Mei 1963, yakni kembalinya Papua ke Indonesia, harus dijaga dan disosialisasikan ke generasi mendatang agar tidak selalu diputarbalikkan. Orang Papua terdahulu yang menjadi pelaku sejarah perjuangan telah menyatakan diri bergabung dengan NKRI pada masa itu.
Semua pihak pun harus meninggalkan perbedaan pandangan ini dan segera turut mengambil peran membangun Papua dalam memaknai peringatan 1 Mei, antara lain dengan turut bersinergi bersama pemerintah dalam upaya mengembangkan sektor kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan ekonomi, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Seluruh masyarakat Papua harus bergandeng tangan untuk melawan paham kelompok yang bertentangan dengan NKRI dan menolak segala bentuk propagandanya. Lebih bagus lagi. kelompok yang berseberangan tersebut bisa segera sadar dan berhenti membangun ideologi Papua Merdeka. Sebab, sejak 1963 tersebut sejatinya Papua sudah merdeka bersama Indonesia.
Kemajuan Papua Terus Dirasakan sejak Integrasi ke NKRI
Selayaknya daerah-daerah bagian NKRI lainnya, pemerintah pusat juga telah membuat dan menjalankan program-progam khusus yang bertujuan untuk membantu mendorong percepatan pemerataan pembangunan di wilayah Papua melalui program pendidikan, infrastruktur, SDM, dan lain-lain. Sehingga, diharapkan wilayah Papua mencapai pemerataan pembangunan yang setara dengan wilayah lainnya.
Hingga saat ini, sudah sangat banyak kemajuan Papua yang dapat dirasakan masyarakat. Pembangunan di Papua sungguh berjalan baik terlebih di era Presiden Jokowi. Kehadiran Otsus pun menambah pesat proses pembangunan.
Tak hanya dalam hal infrastruktur, Pemerintahan Presiden Jokowi juga memberi perhatian serius terhadap situasi hak asasi manusia (HAM) di Papua. Tak sedikit permasalahan HAM masa lalu yang kini telah berhasil terselesaikan. Selain itu, Konstitusi NKRI telah menjamin perlindungan dan pengaturan yang lebih berpihak pada masyarakat adat serta hukum adat. Pemekaran di Papua bahkan didasari oleh keberadaan wilayah adat dan karakteristik masyarakat adat sehingga pembangunan dilakukan di atas kekuatan wilayah adat setempat. Keaslian dan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat termasuk hutan dan tanah serta budaya yang menjadi ciri karakteristik masyarakat adat di setiap wilayah DOB akan tetap terlindungi.
Semoga dengan memahami sejarah serta komitmen negara dalam membangun Papua, dapat membangkitkan semangat nasionalisme generasi muda Papua.
_
Eri Wenda
(Ketua INSAN Papua)