impresionis.com – Sebuah bentuk keterbatasan nalar dan kegagalan dalam menyerap fakta sejarah secara menyeluruh kali ini dipertontonkan oleh Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Ones Suhuniap, yang membahas tentang proses bergabungnya Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lalu pada ujungnya menuntut diselenggarakannya referendum di Papua.
Disampaikan bahwa pengalihan administrasi pemerintahan wilayah Papua dari Otoritas Eksekutif Sementara PBB, yakni UNTEA, kepada Indonesia pada 1 Mei 1963 disertai mandat mengadakan Hak Penentuan Nasib Sendiri sesuai ketentuan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1514 (XV) tentang Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negara dan Rakyat Jajahan. Hal itu juga tertuang dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1952.
Namun menurutnya, penyelenggaraan Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera pada tahun 1969 tidak sesuai aturan Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) maupun Perjanjian New York 1962. Ia menuding Pepera 1969 tidak demokratis serta cacat hukum dan moral.
Selain itu, Suhuniap menolak dalil yang menyatakan hasil Pepera 1969 telah diadopsi Resolusi Majelis Umum PBB 2504, dan juga menolak Perjanjian Roma 30 September 1962. Maka dari itu, diutarakannya bahwa KNPB menilai Indonesia belum memenuhi kewajiban untuk memberikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Bangsa Papua sehingga referendum ulang harus digelar.
Memahami Sejarah Integrasi Papua ke dalam NKRI
Bergabungnya Papua ke dalam bingkai NKRI adalah sesuatu hal yang sudah final. Bangsa ini, bahkan dunia internasional, sudah sepakat dan mengakui bahwa Papua mutlak bagian integral dari Indonesia. Terlebih, proses act of free choice yang dilakukan pada tahun 1969 adalah proses yang sah karena telah memperhatikan berbagai prinsip internasional.
Tertulis dalam catatan resmi sejarah, pada 1 April 1968, Dr. Fernando Ortiz Sanz ditunjuk sebagai wakil PBB atau UN Representative for West Irian (UNRWI). Ortiz kemudian tiba di Indonesia pada tanggl 12 Agustus 1968 dan melakukan perjalan bersama ketiga stafnya selama 10 hari, lalu tiba di tanah Papua pada tanggal 23 Agustus 1968. Proses terus berjalan hingga akhirnya pada 30 Mei 1969, UNRWI menerima jadwal pelaksanaan Pepera.
Proses Pepera ini berjalan semenjak tanggal 14 Juli 1969 di Merauke, kemudian dilanjutkan pada tangga 17 Juli 1969 di Wamena, 19 Juli 1969 di Nabire, 23 Juli 1969 di Fak-fak, 26 Juli 1969 di Sorong, 29 Juli 1969 di Manokwari, 31 Juli di Biak, dan selesai di Jayapura pada tanggal 4 Agustus 1969.
Mayoritas wakil yang hadir memilih bersatu dengan NKRI. Pelaksanaan Pepera turut disaksikan utusan dari PBB, utusan dari Australia, serta utusan dari Belanda. Pemerintah Indonesia dengan PBB telah sepakat untuk menggunakan sistem perwakilan bukan sistem one man one vote saat Pepera mengingat adanya kendala secara geografis dan demografis. Sistem perwakilan itu sendiri juga merupakan wujud dari demokrasi. Dalam budaya Papua sendiri, apabila tokoh adat setempat memilih pilihannya maka pilihan ketua adat akan diikuti oleh masyarakatnya.
Hasil Pepera kemudian diserahkan kepada Ortiz Sanz yang kemudian pada 18 Agustus 1969 meninggalkan Indonesia dan menyampaikan laporannya di sidang umum PBB pada tanggal 6 November 1969. Selanjutnya, pada 19 November 1969, resolusi tentang pelaksanaan Pepera di Papua yang dibahas di dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-24 diterima dengan dukungan oleh 84 negara tanpa ada penolakan dari negara lainnya. Pihak Belanda sendiri menunjukkan sikap menghormati keputusan rakyat Papua. Hasilnya, PBB menyatakan bahwa Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia dan dihapus dari daftar dekolonisasi PBB dengan disahkannya Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2504.
Papua-NKRI Tak Bisa Diganggu Gugat
Papua sah bagian dari NKRI dan tidak bisa diganggu gugat. Resolusi PBB Nomor 2504 sudah final dan mengikat. Dengan demikian, keinginan untuk dilakukannya referendum di Papua menjadi hal yang absurd serta tidak relevan lagi dengan kondisi-kondisi hukum internasional dan juga nasional.
Menko Polhukam Mahfud MD pun pernah berbicara tentang hubungan Papua dengan NKRI yang sudah final. Mahfud menegaskan hubungan Papua dengan NKRI tidak bisa diganggu gugat dan akan dipertahankan dengan segala biaya yang diperlukan, mulai dari sosial, politik, hingga anggaran keuangan.
Selain itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menegaskan bahwa dalam perspektif hukum internasional tidak ada preseden dimana resolusi Majelis Umum PBB dibatalkan. Bahkan bila dicermati ketentuan dalam Piagam PBB atau Statuta Mahkamah Internasional, tidak ada mekanisme yang mengatur tentang pengujian atas produk hukum yang dikeluarkan oleh organ-organ dalam PBB, termasuk resolusi Majelis Umum.
Rakyat Papua Tak Perlu Lagi Bicarakan Referendum
Banyaknya dinamika persoalan yang terjadi di Papua saat ini akibat berbagai cara pola berpikir masyarakatnya, turut mendapat perhatian khusus dari Penjabat Wali Kota Jayapura, Frans Pekey. Ditegaskannya bahwa Papua sudah final dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk itu, pihaknya mengajak kepada semua orang Papua untuk membangun narasi positif tentang Papua dan tidak perlu lagi berbicara merdeka atau referendum dan sebagainya.
Menurutnya, orang Papua harus bangkit untuk menatap masa depan yang lebih baik dan lebih maju. Hal ini penting agar ada manfaat dan dampak untuk sebuah kemajuan bagi Orang asli Papua (OAP) di masa yang akan datang. Sebab, kalau orang Papua terus berada pada narasi yang negatif, maka itu akan mematikan semua energi dan pikiran positif untuk berkembang.
Pekey kemudian mengajak seluruh masyarakat Papua untuk bersama-sama menjaga keutuhan NKRI di Tanah Papua. Dikatakannya juga, anak-anak generasi muda Papua atau semua orang Papua tidak boleh menyerah, tetapi justru harus memperkuat persatuan dan kesatuan untuk melakukan percepatan pembangunan Papua. Terlebih, telah ada kebijakan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk percepatan pembangunan di Papua melalui Otonomi Khusus (Otsus), baik dari aspek regulasi, aspek keuangan, maupun kewenangan. Tujuannnya adalah untuk mensejahteraakan masyarakat di wilayah atau daerah masing-masing dengan berbagai kebijakan pembangunan, keberpihakkan, serta pemberdayaan dan proteksi bagi OAP.
Kita semua pastinya menginginkan kemajuan di Papua sehingga seluruh masyarakatnya pun bisa merasakan kesejahteraan dan kenyamanan hidup. Untuk itu, di masa ini, di era kepemerintahan yang telah sangat memerhatikan kondisi ujung timur Indonesia, sudah saatnya kita meninggalkan perdebatan usang tentang referendum Papua. Apalagi, proses act of free choice melalui Pepera pada tahun 1969 berjalan dengan demokratis serta sesuai dengan hukum dan moral yang berlaku. Dengan demikian, Indonesia sejatinya sukses memenuhi kewajiban untuk memberikan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi rakyat Papua, dan memperoleh hasil yang menyatakan Papua mutlak bagian integral dari NKRI secara sah, legal, dan juga final.
_
Eri Wenda
(Ketua INSAN Papua)