Oleh : Raavi Ramadhan )*
Masyarakat lelah dengan tingkah FPI yang sering di luar batas. Mereka terang-terangan menyinggung isu SARA dan menyerang orang lain dengan hate speech. Kontroversi mereka membuat ormas ini harus dibubarkan. Karena selalu membuat onar dan meresahkan masyarakat.
FPI adalah ormas yang mengklaim sebagai pembela umat. Namun sayangnya, cara yang mereka lakukan terlalu berlebihan, bahkan tercela. Ketika ada kasus yang menyinggung umat, bukannya diselesaikan dengan perdamaian, malah dibalas dengan ajakan jihad yang ekstrim. Bahkan memperbolehkan anggotanya untuk melakukan tindakan kriminal.
Tanggal 7 desember 2020 dini hari ada 10 laskar yang berafiliasi dengan FPI. Mereka membawa senjata tajam seperti celurit dan sebagainya, lalu nekat menyerang aparat yang berjaga. Penyerangan ini diduga terkait dengan pemanggilan panglima FPI Habib Rizieq Shihab pada hari itu, karena kasus penyelenggaraan acara keramaian saat pandemi.
Masyarakat merasa miris karena mereka yang seharusnya membela umat malah melakukan penyerangan pada pihak berwajib. Peristiwa ini bukan untuk pertama kalinya. Mereka juga sering melakukan sweeping, terutama saat bulan ramadhan. Sejumlah rumah makan digeruduk dan dipaksa tutup, padahal bisa jadi yang ada di dalamnya tidak berpuasa karena non muslim.
FPI juga dikecam karena mempergunakan kata-kata yang tidak sopan. Terutama ketika panglima mereka berceramah. Di panggung, ia malah mengumbar diksi kasar, dan tidak menyaringnya terlebh dahulu. Aksi itu bukannya dihentikan, malah direkam dan disebarluaskan. Namun pihakYoutube langsung menghapusnya karena mengandung konten negatif.
Selain itu, FPI juga mengungkit isu SARA. Perdamaian antar umat di Indonesia dirusak dan mereka sengaja memecah-belah, dengan tujuan menyerang pihak tertentu. Sehingga meresahkan masyarakat Indonesia yang multi agama dan multi kultural. Mereka tidak menjunjung pancasila dan bhinneka tunggal ika.
Oleh karena itu jika Pangdam Jaya mengusulkan untuk membubarkan FPI, sangat bisa diterima masyarakat. Karena mereka selalu membuat onar dan merusak perdamaian di Indonesia. Katanya front pembela umat, namun malah bertindak seperti preman. Dengan membawa senjata tajam dan berbuat anarkis, serta melakukan sweeping seenaknya sendiri.
Padahal jika benar ada sweeping, maka yang berhak adalah aparat dan Satpol PP. Namun mereka bertindak di luar batas dengan menutup usaha orang lain dan melakukan tindak kekerasan. Mereka beralasan harus menegakkan kebenaran. Padahal nabi sendiri tidak pernah melakukan dakwah dengan kekerasan, melainkan selalu lemah lembut dan sabar.
Sebenarnya pembubaran FPI boleh-boleh saja. Karena izin ormas tersebut tidak pernah diperpanjang oleh Mendagri Tito Karnavian. Sehingga ia berstatus ilegal dan boleh saja dihapus dari Indonesia. Jika ia mengadakan acara dan ternyata dibubarkan, maka tidak boleh marah. Karena izinnnya memang ditolak oleh pemerintah.
Bukan hanya di Indonesia. Di Saudi sendiri, gerombolan ormas berjubah seperti FPI pada thun 1979, pernah melakukan keonaran. Mereka bahkan berani mengambil alih Masjidil Haram, padahal sedang musim haji. Lalu seenaknya membaiat Imam Muhammad Abdullah Al-Qahtani sebagai Imam Mahdi, yang dibilang imam besar umat islam.
Akhirnya mereka ditumpas askar khusus, yakni Pasukan Komando Kerajaan. Lantas gembong pentolannya dieksekusi mati, sedangkan para kroco mendekam di dalam bui. Hukuman ini dirasa pantas karena mereka mengacau dan memalukan Kerajaan Saudi Arabia, padahal ada banyak tamu jamaah dari negara lain.
Jadi, ketika FPI dibubarkan, sebenarnya sah-sah saja. Karena di negeri padang pasir saja menolak ormas seperti itu. Namun sayangnya ketika mereka ditertibkan, maka yang muncul adalah drama playing victim. Mereka beralasan pemerintah sedang melakukan kriminalisasi ulama. Padahal yang bersalah adalah oknumnya.
Wacana pembubaran FPI malah disyukuri oleh masyarakat. Karena mereka selalu mengacau dan membubarkan perdamaian di Indonesia, serta mengungkit isu SARA. Mereka memaksakan untuk mendirikan negara khilafah, padahal sejak merdeka Indonesia adalah negara pancasila dan tidak dapat diganggu-gugat.
)* Penulis adalah warganet tinggal di Bogor