Pendeta Provokatif Menolak Kebijakan Pemekaran Bernama Socratez Yoman

Pendeta Socrates Sofyan Yoman
0 0
Read Time:6 Minute, 0 Second

impresionis.com – Di tengah masa pemerintah melaksanakan pembahasan akhir terkait RUU Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua, terdapat pihak yang berupaya untuk menjegal opini publik demi kepentingan tertentu. Jika sebelumnya, beberapa kejadian datang bersumber dari ulah kelompok separatis melalui aksi gangguan keamanan di beberapa tempat secara bergerilya. Kini sebuah opini melalui narasi provokatif muncul dari tokoh agama yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah, tersebutlah Socratez Yoman.

Wajib menjadi pengetahuan bersama, bahwa rongrongan permasalahan keamanan hingga ideologi di wilayah Papua terbagi menjadi beberapa unsur yang terkadang berkait, namun juga kadang tak sepaham. Berdasarkan pemetaan kelompok separatis dan teroris yang berada di tanah Papua, selain front bersenjata yang dimotori beberapa kelompok bersenjata dan bergerilya, juga terdapat front politik yang bergerak secara organisasi, seperti KNPB, NRFPB, ULMWP, hingga AMP. Sedangkan tokoh agama yang tak sejalan dengan kebijakan pemerintah tergolong dalam front klandestin. Mereka bergerak secara senyap menyebarkan pengaruh kepada masyarakat melalui unsur ideologi, sosial, hingga pembentukan opini secara persuasif bermodal pendekatan agama. Salah satu hal yang dilakukan Socratez Yoman termasuk dalam bentuk persuasi melalui narasi yang cenderung provokatif.

Tuduhan Mengejutkan dari Seseorang yang Mengklaim Diri Tokoh Agama

Dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama, seseorang yang telah ditasbihkan sebagai tokoh agama hendaknya mengamalkan kehidupannya dengan memberikan pelayanan dan memelihara kehidupan rohani umat yang diwujud nyatakan dalam bentuk penggembalaan. Pendeta adalah pemimpin tertinggi di dalam gereja. Setiap pendeta dipercayakan tanggung jawab untuk mengorganisir dan memimpin seluruh anggota jemaat untuk memenuhi misi gereja Kristus di dunia baik secara administrasi maupun rohani.

Seorang pemimpin juga harus fokus kepada tujuan organisasi yang dipimpinnya secara maksimal. Tanpa komitmen yang sungguh-sungguh, maka dipastikan akan gagal dalam memotivasi dan menggerakkan orang-orang yang dipimpinnya. Hal ini juga berlaku bagi seorang pendeta jemaat. Jika seorang pendeta fokus dan komitmen kepada misi gereja di dunia maka gereja akan berhasil di dalam menjalankan misinya.

Sebuah pernyataan provokatif justru muncul dari seorang pengurus Dewan Gereja Papua di tengah proses pemerintah dan DPR membahas RUU kebijakan pemekaran DOB sebagai upaya memajukan tanah Papua. Sebuah kontradiksi atas kepemimpinan seorang tokoh agama yang berseberangan dengan pemerintah dan cenderung memanfaatkan posisinya untuk mempengaruhi masyarakat secara destruktif. Dengan entengnya, dirinya menuduh bahwa kebijakan pemekaran tujuh wilayah oleh Presiden Jokowi disebut sebagai provinsi boneka. Rencana pemekaran disebut sebagai mesin pemusnah penduduk asli Papua secara sistematis, terstruktur. Masif, meluas, kolektif, dan terintegrasi. Indonesia akan menambah tujuh provinsi termiskin urutan pertama.  

Sisi Gelap Socratez Yoman, Tokoh Agama yang Berpolitik

Tak banyak yang menyangka bahwa Socratez Yoman merupakan salah satu tokoh agama yang juga merangkap sebagai aktivis pro kemerdekaan Papua. Ia memiliki concern dalam bidang ideologi untuk mempengaruhi masyarakat, utamanya untuk turut serta memperjuangkan kemerdekaan wilayah Papua dari Indonesia. Pria kelahiran Situbondo Jawa Timur tersebut selain menjadi pendeta juga merupakan Ketua Persekutuan Gereja Baptis Papua, Pengurus Dewan Gereja Papua, anggota konferensi Gereja-gereja Pasifik, serta mengajar di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Baptis, dan di STT Izak Zauel Kijine Abepura. Dalam perjalanannya, kiprah Socrates sebagai penggembala umat justru tersusul oleh sejumlah aktivitasnya yang tendensius pada upaya politik untuk melepaskan diri dari Indonesia. Sejumlah jejak dari kegiatan dan gerakan politiknya telah membuat sejumlah pihak merasa keberatan, tidak terima, bahkan hingga menyulut provokasi. Akibatnya kini, label ‘’Pendeta Politik’’ tersemat kepada Socrates.

Pengamat politik masalah Papua alumnus Universitas Indonesia (UI), Toni Sudibyo merespon pernyataan Socrates pada tahun 2014 terkait penyusunan Otsus serta implementasinya bahwa Indonesia hanya bersandiwara dengan membiarkan orang Papua musnah melalui kekerasan negara selama hampir 50 tahun. Menurutnya, pernyataan Socrates merupakan strategi dasar para pendukung OPM di dalam maupun di luar negeri untuk melakukan segala upaya sehingga program Otsus dan program pembangunan gagal, dimana skenario selanjutnya adalah dorongan penentuan sikap politik melalui referendum untuk melepaskan diri dari Indonesia.

Seorang Pendeta Socrates juga bersikap kontradiktif dengan mengapresiasi peresmian kantor ULMWP di Wamena pada tahun 2016. Menurutnya peresmian tersebut merupakan dinamika dan realitas politik perjuangan rakyat dan bangsa Papua Barat yang diakui dan diterima Pemerintah Indonesia. Namun fakta yang terkuak kemudian, peresmian tersebut ternyata menungganggi acara syukuran masyarakat Wamena atas berdirinya kantor Dewan Adat Papua (DAP). Beberapa masyarakat yang hadir dalam kegiatan tersebut kecewa karena merasa dibohongi. Masih berkaitan dengan ULMWP, di tahun 2011 Socrates juga pernah melakukan kebohongan publik mengklaim bahwa ULMWP dipilih secara sah oleh rakyat Papua dalam Konferensi Perdamaian Papua (KPP) pada 5-7 Juni 2011 di Auditorium Universitas Cenderawasih Papua. Faktanya, kegiatan tersebut berisi seminar dan dikusi dengan tema “Mari Kitong Bikin Papua Jadi Tanah Damai”.

Di tahun 2016, pernyataan Ketua MRP Papua Barat Vitalis Yumte bahwa perjuangan politik Papua sudah final melalui dua fase masing-masing Pepera 1969 dan Otsus 2001, dibantah oleh Socrates. Menurutnya pernyataan tersebut tidak mewakili suara Nurani orang asli Papua. Ia bersikeras tak ada istilah final dalam kehidupan masyarakat, tapi selalu ada dinamika dan proses politik. Pernyataan tersebut direspon oleh generasi muda Papua Emus Kogoya bahwa Socrates bukan politikus, yang dimaksud final bukan kebijakannya, tetapi status politik bahwa Papua secara sah merupakan bagian dari NKRI. Jika saat ini terdapat kebijakan Otsus, DOB, dll, merupakan upaya percepatan pembangunan di Papua. Seorang mahasiswa Papua di Jakarta bernama Emilia Karubaga juga turut merespon pernyataan Socrates yang menurutnya tidak mencerminkan seorang pendeta, namun cenderung provokator yang selalu memperkeruh dengan bersembunyi dibalik agama. Semestinya dirinya membuat sejuk hati umat, bukan membuat panas.

Sikap menyesalkan kepada Socrates juga pernah ditunjukkan oleh Ketua Pemuda Mandala Trikora Provinsi Papua, Ali Kabiay. Ia menyesalkan pernyataan Socrates Yoman dalam status di akun Facebook atas nama Socratez Sofyan Yoman pada tanggal 1 November 2020 terkait pembentukan organisasi P5 atau Presidium Putra Putri Pejuang Pepera, di sentani yang diketuai oleh Bapak Yanto Eluay. Menurut Ali, pendeta Socrates sebaiknya tidak terlalu mengurusi masalah politik di Papua dan belajar menghargai keputusan Ondoafi Yanto Eluay sebagai ketua P5. Berharap Pendeta Socratez menunjukkan jati diri sebagai pelayan umat, bukan inspirator politik.

Masih berkaitan dengan unggahan di media sosial, pada tahun 2021 Pendeta Socrates juga pernah mengunggah narasi dengan menyebut bahwa Indonesia sebagai penjajah yang memadukan rasisme di tanah Papua. Unggahan tersebut kemudian direspon oleh pemerhati isu strategis dan masalah Papua, Prof. Imron Cotan bahwa sebagai seorang doktor, pendeta, dan tokoh masyarakat, tidak seharusnya Socrates memutarbalikkan sejarah dengan pura-pura tak tahu kronologi sejarah kemerdekaan Indonesia dan hubungannya dengan Tanah Papua, bahkan mengatakan Indonesia sebagai bangsa “penjajah”.

Pelopor Aksi Penolakan Otsus hingga Pemekaran DOB

Jika kita amati, manuver seorang Socratez dalam merespon kebijakan Otsus dan DOB semakin kentara dan jelas pergerakannya. Bersama dengan Dewan Gereja Papua bentukannya, ia turut andil dalam menginisiasi massa untuk menolak Otsus dan DOB. Kini disaat realisasi pemekaran wilayah sudah di depan mata, ia melancarkan provokasi melalui sebuah narasi. Sebuah tindakan yang tak bisa ditolerir dari seorang pendeta yang harusnya menggembala jemaatnya untuk hidup damai namun justru turut terlibat dalam aksi yang rawan provokasi dan kericuhan. Sederet narasi yang digemborkan berpotensi menjebak umatnya untuk membenci pemerintah sebagai representasi pemimpin dalam lingkup dunia. Sensifitas Papua secara sosiologi sengaja dimainkan tanpa memikirkan dampak dan reaksi yang mungkin muncul.

Untuk diketahui bahwa dari sekian konflik yang pernah terjadi di wilayah Papua, salah satu penyebabnya berawal dari adanya kalimat dan tulisan provokatif yang tersebar di media. Jangan sampai ulah Socrates dengan narasi provokatif mempengaruhi publik untuk menolak kebijakan pemekaran wilayah dan tuduhan provinsi boneka berakhir dengan hal yang jauh dari tugas dan tanggung jawab seorang pendeta, yakni menyejukkan jemaat.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
%d bloggers like this: