Motif Markus Haluk Dorong Penyelesaian Konflik Papua Melalui Mekanisme Internasional untuk Sudutkan Pemerintah Indonesia

Kerusuhan terjadi di Wamena, dilaporkan 12 orang tewas
0 0
Read Time:5 Minute, 24 Second

impresionis.com – Beragam reaksi dan respon bermunculan pasca terjadinya aksi kekerasan di beberapa wilayah Papua yang bisa dikatakan terjadi secara gerilya dan beruntun. Sayangnya, ragam respon tersebut cenderung menyudutkan sisi pemerintah dalam hal ini adalah aparat keamanan terkait upaya penanganan aksi kekerasan yang kerap menimbulkan korban jiwa.

Advokat Publik Aliansi Demokrasi untuk Papua, Helmi mengatakan bahwa penanganan polisi atas peristiwa kerusuhan di Wamena 23 Februari 2023 lalu menunjukkan pendekatan keamanan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan. Kegagalan dalam penanganan peristiwa serupa di tempat yang sama pada 23 September 2019 lalu tidak dievaluasi. Kemudian aktivis HAM Papua, Iche Murib menyatakan bahwa korban penembakan terhadap Orang Asli Papua (OAP) saat kerusuhan di Wamena beberapa saat lalu murni sebuah kejahatan kemanusiaan. Ia bahkan berpikir terlampau jauh bahwa kejadian tersebut merupakan target negara demi merampas dan menguras seluruh SDA Papua sejak proses aneksasi tahun 1961.

Hal serupa juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Markus Haluk yang menilai bahwa eskalasi kekerasan yang terjadi pada awal tahun 2023 telah menimbulkan ruang ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap komitmen pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan konflik kekerasan selama 6 dekade (Mei 1963 – Mei 2023). Pemerintah Indonesia disebut tidak memiliki peta jalan penyelesaian konflik Papua secara damai, bermartabat dan komprehensif. Namun justru menciptakan, membiarkan, dan memelihara konflik yang berkelanjutan di Papua. Diakhir pernyataan, ia menyarankan agar konflik di Papua diselesaikan melalui mekanisme internasional.

Sementara itu, juru bicara Jaringan Damai Papua (JDP), Yan Christian Warinusi menyesalkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) dalam kontak tembak dengan TNI/Polri di Dekai Yahukimo, Papua Pegunungan pada Rabu 1 Maret 2023. Dalam kapasitasnya sebagai fasilitator damai, JDP senantiasa mendorong negara bersama TNI dan Polri untuk senantiasa mengedepankan langkah membangun perdamaian di atas tanah Papua. Bahkan JDP senantiasa mendorong pihak TPNPB agar mau mempertimbangkan untuk memulai langkah damai dalam membicarakan cara untuk mengakhiri kekerasan bersenjata yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun di atas Tanah Papua. Pilihan damai akan sangat menolong bahkan memberi jaminan keamanan dan keselamatan bagi masyarakat di Tanah Papua.

Polemik Menahunnya Permasalahan Separatisme di Papua

Bukan sekali ini saja muncul tuduhan bahwa pemerintah sengaja memelihara konflik separatisme yang telah menahun di Papua. Tak kurang beragam strategi telah ditempuh dalam penyelesaian permasalahan separatis di Papua. Pada dasarnya, permasalahan eksistensi kelompok separatis dan teroris (KST) Papua atau sebutan lainnya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) berkaitan dengan isu politik dan ideologi. Berbagai upaya pemerintah untuk memajukan Papua selalu mendapat resistensi dari pihak tersebut, mulai dari revisi Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus (Otsus) hingga UU pemekaran tiga wilayah baru di Papua. Satu hal yang menjadi misi panjang mereka adalah ingin memisahkan diri dari Indonesia. Atas dasar perbedaan ideologi dari kelompok banal yang kerap bertindak brutal tersebut, maka berbagai pendekatan kesejahetraan diindikasi tak membawa pengaruh bagi pergerakan mereka untuk lepas dari Indonesia.

Harapan adanya dialog antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua seperti yang disarankan sejumlah pihak belum dapat dipastikan akan membawa pengaruh besar dalam penyelesaian konflik. Misi panjang mereka adalah lepas dari Indonesia bagaimanapun kondisinya. Salah satu faktor pembentuknya adalah doktrin dan pengaruh dari pemimpin kelompok tersebut. Benny Wenda misalnya yang secara serampangan mengaku mewakili Indonesia dalam Forum Kepulauan Pasifik, atau beberapa panglima mereka di setiap wilayah, salah satunya Egianus Kogoya yang disebut memiliki pengaruh kuat. Dengan modal kewibawaannya mampu mempengaruhi sebagian besar anggotanya yang mungkin tidak memiliki pengetahuan yang lebih tinggi darinya serta memiliki sikap militan dalam setiap aksi yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah ataupun menyinggung kemerdekaan. Di benak mereka, mungkin ketika Papua lepas dari Indonesia akan lebih maju dari sebelumnya, padahal kenyataannya tidak demikian. Timor leste adalah bukti nyata.   

Adanya penyerangan terhadap warga sipil di Papua oleh kelompok separatis juga bisa disebut sebagai strategi untuk menginternasionalisasi permasalahan Papua. Mereka hanya ingin agar situasi di Papua tidak aman, berdampak pada banyaknya kekuatan militer yang kemudian diturunkan ke Papua, sehingga di mata dunia, dalam hal ini PBB bisa melihat bagaimana Papua menjadi daerah perang dengan mengorbankan warga sipil. Maka kemudian, diciptakanlah propaganda dengan menyerang warga sipil, merusak fasilitas daerah, serta membuat situasi tak aman termasuk menyandera Pilot serta mengancam masyarakat untuk mengungsi sehingga keinginan mereka agar PBB turun tangan berujung pada pembahasan referendum atau penentuan nasib bagi masyarakat Papua. Sebuah strategi klasik yang masih terus diupayakan oleh kelompok tersebut meski terdapat perselisihan internal didalamnya.

Pengamat Intelijen dan Terorisme, Stanislaus Riyanta pernah memberikan penilaian bahwa aksi yang dilakukan Kelompok Separatis di Papua merupakan strategi motif eksistensi ingin menunjukkan keberadaannya di publik. Selain itu, mereka juga ingin menunjukkan resistensi terhadap program-program pemerintah. Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional – Pemuda Adat Papua (DPN-PAP) Jan Christian Arebo. Menurutnya sikap berani dan brutalnya kelompok separatis dalam melakukan aksi karena merasa mendapat dukungan. Diketahui bahwa hingga kini masih terdapat peran-peran oknum di Papua yang mengatasnamakan Dewan Gereja yang terus bersuara mendukung Papua Merdeka.

Pendekatan Keamanan Adalah Pilihan Terakhir

Tak ada satu pihak manapun yang menginginkan kejadian kerusuhan di Wamena ataupun wilayah lain di Papua terulang lagi menjadi siklus kekerasan dalam beragam modus dan jenis. Tindakan kekerasan menjadi hal biadab yang dilakukan hanya karena kesalahan informasi, motif untuk menunjukkan eksistensi kelompok ataupun resistensi terhadap kebijakan pemerintah. Maka kepada siapapun yang berada di pihak pengacau keamanan wilayah Papua harus ditindak melalui ragam penyelesaian yang harus ditempuh. 

Sebelumnya, di awal Februari lalu pihak parlemen melalui Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad pernah menyatakan dukungan penuh kepada pemerintah untuk mengambil sikap tegas terhadap kelompok separatis Papua. Pemerintah diminta tidak ragu menerapkan upaya hukum terhadap semua pelaku terorisme di Papua. Sebab, toleransi kepada pelaku aksi teror dinilai sudah cukup. Di sisi lain, Pengamat politik dan militer, Ikrar Nusa Bakti menyebut bahwa pendekatan keamanan dalam pembebasan pilot Susi Air bisa ditempuh jika negosiasi dan skema lain gagal membuahkan hasil. Menurutnya, sebelum melalui pendekatan keamanan terdapat cara lain setelah gagal melalui negosiasi. Yakni melibatkan mediator asing untuk melakukan perundingan dengan kelompok separatis sebagaimana yang pernah dilakukan dalam penyelesaian konflik bersenjata di Aceh.

Maka pada akhirnya, pemerintah perlu merombak pola pendekatan dalam penanganan kerusuhan atau kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis Papua. Evaluasi kebijakan pengamanan di Papua secara menyeluruh menjadi hal mendesak dan atensi seluruh pihak. Namun satu hal yang perlu menjadi perhatian bahwa adanya perubahan pola dengan proses penegakan hukum seyogyanya juga mengedepankan peran dan keterlibatan masyarakat sipil agar kemudian tidak justru berakhir salah sasaran. Jangan sampai terjadi lagi adanya korban dari tukang ojek, tukang kelontong, atau pekerja bangunan dari manapun yang menjadi ‘tumbal’ motif eksistensi dari kelompok separatis di Papua.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
%d bloggers like this: