Sebuah Ironi, Jejak Debora Mote Turut Menolak DOB Namun Mencalonkan Diri Ketua MRP Papua Tengah

Debora Mote Wakil Ketua II Majelis Rakyat Papua
0 0
Read Time:5 Minute, 18 Second

impresionis.com – Salah satu konsekuensi dari implementasi kebijakan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di wilayah Papua adalah adanya pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) di masing-masing wilayah provinsi pemekaran. Menindaklanjuti hal tersebut, menjadi tugas pemerintah pusat bersinergi dengan pemerintah daerah untuk menyeleksi orang-orang yang akan menjabat. Pemerintah dan DPR mengadakan evaluasi serta perubahan yang dipengaruhi oleh beberapa situasi. Hal tersebut salah satunya didasarkan atas adanya krisis organisasi yang sempat terjadi di MRP akibat konflik internal. MRP sebagai lembaga kultural masyarakat Papua harus benar-benar mampu mewakili masyarakat Papua tanpa adanya sikap tendensi berat sebelah, sehingga kedepannya harus diisi oleh orang-orang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas.

Mengacu pada Undang-undang DOB yang telah disahkan beberapa waktu lalu, pembentukan MRP di Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan dilakukan oleh Penjabat (Pj) Gubernur yang sebelumnya telah dilantik oleh Presiden. Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bahtiar pernah menyatakan bahwa pentingnya dibuat mekanisme yang tidak biasa karena tidak mungkin terjadi proses rekrutmen calon kepala daerah di tahun 2024 nanti jika belum terbentuk lembaga MRP di masing-masing provinsi. Hal serupa juga pernah dikuatkan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej bahwa PP 54/2004 dibuat jauh sebelum UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Tujuan pasal tersebut dimaksudkan untuk mengakomodasi pembentukan MRP di provinsi baru. Pemerintah akan mengikuti peraturan perundang-undangan yang mengatur pembentukan MRP, dalam hal ini adalah PP 54/2004. Sedangkan Pasal 13 Ayat 3 dimaksudkan agar penjabat gubernur memiliki kewenangan untuk membentuk MRP pasca lahirnya provinsi baru hasil pemekaran.

Konflik Internal MRP Tolak Kebijakan DOB jadi Refleksi dalam Penentuan Anggota di Provinsi Pemekaran

Menjadi sebuah perjalanan panjang sebelum akhirnya kebijakan pemekaran DOB disahkan pemerintah, terdapat sejumlah riak-riak penolakan yang sempat menjadi perbincangan hingga kendala. Selain dari sejumlah kelompok mahasiswa terafiliasi dengan kelompok pro kemerdekaan Papua yang konsisten menolak setiap kebijakan pemerintah pusat. Penolakan juga sempat muncul dari sejumlah pengurus MRP yang terbelah kubunya dalam menyikapi kebijakan pemerintah pusat.  

MRP yang sejak berdiri ditujukan sebagai lembaga representatif masyarakat Papua, justru terindikasi turut bermain dalam mempengaruhi opini publik. MRP ditengarai sempat bergerak di satu sisi mengutamakan dan membesarkan pihak-pihak yang menolak DOB. Klaim tersebut langsung dinyatakan oleh Timotius Murib selaku ketua tanpa melalui pleno atau data sumber yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Padahal secara presentase ataupun kuantitas, terdapat banyak pihak yang mendukung DOB berasal dari lintas bidang hingga lintas wilayah.

Ketua Pemuda Adat Wilayah Saireri II Nabire, Ali Kabiay pernah membeberkan bahwa MRP terbelah menjadi tiga kubu. Yakni kelompok pro DOB dan Otsus, Kelompok Penolak DOB dan Otsus, serta kelompok netral. Timotius Murib, Yoel Mulait, dan Benny Sweny, serta Debora Mote terpetakan menjadi bagian dari kubu penolak DOB. Oknum-oknum tersebut jelas sudah tak mampu menjalankan tiga fungsi MRP yaitu adat, agama dan perempuan karena sudah terkontaminasi dengan politik praktis, bahkan uang operasional MRP terbukti digunakan untuk membayar organisasi-organisasi sayap separatis di papua. Sebuah kebobrokan di sektor lain setelah kasus besar korupsi pada pemerintahan Papua yang hingga kini masih dalam proses penyidikan KPK.

Pencalonan Debora Mote Sebagai Ketua MRP Adalah Cermin Sikap Oportunis

Berangkat dari sejumlah kejadian tersebut, maka dalam periode berikutnya terutama saat pembentukan MRP di provinsi pemekaran dibutuhkan proses screening secara komprehensif terhadap para calon anggota. Hal ini dimaksudkan agar nantinya orang-orang yang terpilih tersebut dapat menjalankan tupoksinya mengawal MRP sebagai lembaga kultural masyarakat Papua yang selalu setia kepada Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

Menjadi hal ironis jika dalam proses perekrutan anggota MRP tersebut terdapat nama Debora Mote yang seperti tidak tahu malu ikut mencalonkan diri sebagai ketua MRP Provinsi Papua Tengah. Untuk diketahui bahwa Debora Mote adalah salah satu anggota MRP yang berdiri di kubu Timotius Murib turut menyuarakan penolakan terhadap kebijakan DOB dan Otsus. Namun, bagai menjulat ludah sendiri. Kebijakan DOB yang saat ini telah berjalan justru kembali dimanfaatkan dirinya untuk ikut ambil bagian di salah satu provinsi pemekaran.

Berdasarkan jejak digital di pemberitaan portal media online, seorang Debora Mote pernah menyampaikan sejumlah pernyataan yang mengarah pada penolakan kebijakan pemekaran DOB dan Otsus di Papua. Pada 9 Maret 2022 lalu, Debora Mote pernah mengatasnamakan MRP meminta pemerintah pusat dan DPR agar tidak memaksakan kehendak dalam pemekaran provinsi Papua. Pada 18 Mei 2022, Debora Mote turut mendampingi Ketua MRP Timotius Murib dan Wakil Ketua I MRP, Yoel Luiz Mulait menerima aspirasi dari pimpinan DPRD Kabupaten Yahukimo berkaitan dengan aspirasi terkait penolakan DOB, desakan untuk mencabut Otonomi Khusus (Otsus) jilid 2, dan menolak pembangunan Koramil serta Danramil di Kabupaten Dogiyai. Kemudian pada saat rapat penutupan sidang II MRP tahun 2022, 27 Juni 2022, seorang Debora Mote mengusulkan kepada anggota MRP untuk konsisten dengan visi misi lembaga kultur orang asli Papua, terutama penyelamatan tanah dan manusia Papua. Terkait kebijakan DOB, dirinya menyarankan kepada anggota MRP untuk bersifat netral, tidak saling menyalahkan karena perbedaan pandangan pro dan kontra soal DOB.

Menjadi sebuah penegasan terkait posisinya, sosok Debora Mote merupakan salah satu tokoh MRP yang ikut menggugat Uji materi UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua. Gugatan tersebut dilakukan bersama Ketua MRP Timotius Murib, Wakil Ketua MRP, Yoel Luiz Mulait. Adanya gugatan UU Otsus yang dilayangkan MRP melalui MK menjadi hal kontroversial berkaitan dengan kedudukan hukum MRP sebagai lembaga.

Saksi ahli Presiden, Yusril Ihza Mahendra pernah menilai bahwa tidak terdapat ruang bagi MRP untuk menguji Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus) terhadap UUD 1945, dimana MRP menjadi pemohon dalam sidang tersebut. Menurut Yusril, MRP dikategorikan sebagai lembaga negara yang dibentuk berdasarkan amanat Undang-undang, bukan UUD 1945 secara langsung. Hak dan kewenangannya diberikan sebagaimana perintah UU. Adanya dalil terhadap UU Otsus Papua mengenai ketentuan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Dewan Perwakian Rakyat Kabupaten/ Kota (DPRK) hanya bisa diajukan oleh individu atau partai politik yang memiliki konstitusional. MRP ialah lembaga negara sebagai representasi masyarakat Papua dalam hal tertentu sebagaimana disebutkan UU. Namun, MRP tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan pengujian pasal-pasal yang dimohonkan tersebut.

Maka pada akhirnya, jika pemerintah benar-benar melakukan screening terhadap calon anggota MRP di provinsi pemekaran, maka orang seperti Debora Mote dengan sikap oportunis mengemis kekuasaan harus dipertimbangkan kembali dari bursa pencalonan. Mau dibawa kemana arah organisasi MRP di Provinsi Papua Tengah nantinya, jika pengalaman di kepengurusan sebelumnya tak bisa menjadi penengah dan justru berdiri di satu sisi dalam menyikapi dinamika masyarakat Papua.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
%d bloggers like this: