Modus Playing Victim Simpatisan Kelompok Separatis Sebut Terbunuhnya Enius Tabuni Merupakan Tumbal

Proses Pembakaran Mayat Anggota Kelompok Separatis Papua
0 0
Read Time:5 Minute, 5 Second

impresionis.com – Sebuah insiden kekejaman kembali dilakukan oleh Kelompok Separatis Papua di distrik Ilaga, Kabupaten Puncak. Lagi-lagi seorang tukang ojek menjadi korban penembakan oleh pihak yang diduga merupakan bagian dari kelompok Egianus Kogoya. Berdasarkan kronologi yang disampaikan oleh Kapolda Papua sebagaimana diberitakan oleh sejumlah media mainstream. Disebutkan bahwa kelompok separatis menembak seorang tukang ojek bernama Irwan hingga tewas di pertigaan Jalan Kimak, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua Tengah pada Rabu 22 maret 2023 sekitar pukul 09:20 WIT. Dalam aksinya, sebelum melakukan penembakan, pelaku berpura-pura menjadi penumpang. Tembakan dilakukan dengan senjata api laras pendek warna hitam.

Merespon hal tersebut, aparat gabungan kemudian melakukan pengejaran terhadap para pelaku penembakan. Berdasarkan pantauan melalui observasi udara, terlihat sekitar 20 orang membawa 2 pucuk senjata api sedang melalukan penyerangan dari kampung Mundidok menuju ke arah kampung Kimak. Sempat terjadi kontak tembak, hingga akhirnya, ditemukan seorang anggota kelompok separatis bernama Enius Tabuni yang terkena tembakan hingga meninggal dunia. Sementara itu, dari pihak aparat keamanan tidak ada yang terluka dalam kontak tembak tersebut.

Sayangnya, sejumlah provokasi melalui playing victim secara serentak kemudian dilakukan oleh para pendukung kelompok separatis memanfaatkan unggahan di media sosial. Untuk menutupi kejahatan pembunuhan yang dilakukan, dinarasikan bahwa aparat tidak mampu menghadapi TPNPB OPM hingga akhirnya menjadikan seorang anak sebagai tumbal. Enius Tabuni yang tertembak disebut-sebut sebagai anak dibawah umur, berusia 12 tahun yang menjadi korban operasi militer aparat Indonesia. Sebuah upaya pemutarbalikkan fakta untuk mengelabuhi publik sekaligus mencari simpati. Mereka seakan lupa, bahwa beberapa waktu lalu, anggota Egianus Kogoya lainnya juga membunuh anak seorang kepala kampung berusia 8 tahun karena tidak mau memberikan bantuan makanan.

Danrem 173/Praja Vira Braja, Brigjen Sri Widodo, turut menerangkan bahwa sejak Rabu, 22 Maret 2023, Kelompok Separatis di wilayah Puncak terus melakukan aksi teror salah satunya dengan menembak seorang tukang ojek. Pasca penembakan, Tim Gabungan TNI-Polri mengejar hingga ke arah jembatan PT Unggul, Ilaga, Kabupaten Puncak. Kemudian, terlihat melalui drone terdapat 3 orang anggota kelompok separatis membawa senjata api laras panjang dan pada akhirnya berhasil dilumpuhkan. Dikatakannya juga bahwa dari 3 jenazah anggota kelompok separatis, hanya 1 orang berhasil diamankan yakni bernama Enius Tabuni, sedangkan 2 jenazah lainnya dibawa oleh rekannya ke dalam hutan. Ia membantah isu bahwa tukang ojek yang tewas ditembak kelompok separatis adalah anggota TNI, melainkan seorang perantau asal Sulawesi Selatan (Sulsel). Jenazah korban kemudian dipulangkan di Jennae, Kabupaten Soppeng untuk dimakamkan. Untuk diketahui bahwa simpatisan kelompok separatis telah menyebarkan fitnah tersebut untuk membenarkan perbuatan mereka. Padahal, mereka menembak masyarakat sipil yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek.

Simpatisan Kelompok Separatis Putarbalikkan Fakta untuk Tutupi Kesalahan

Modus pemutarbalikkan fakta seperti yang dilakukan oleh simpatisan kelompok separatis tersebut bukan kali pertama ini terjadi. Alur yang sudah terbaca ketika terjadi sebuah aksi penyerangan adalah munculnya pernyataan dari juru bicara TPNPB OPM, Sebby Sambom yang menyatakan bertanggung jawab terhadap aksi. Namun, malang terjadi ketika baru saja menembak tukang ojek kemudian dilakukan pengejaran oleh aparat TNI Polri hingga akhirnya menimbulkan korban dari pihaknya. Maka strategi berubah secara sekejap dengan menaikkan isu penembakan Enius Tabuni sebagai bagian dari kekejaman aparat melalui unggahan di media sosial. Sebuah modus yang sebenarnya mudah untuk dibaca, pun untuk dikontra.

Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko dalam sebuah kesempatan pernah menyebut bahwa TPNPB OPM harus diadili berkaitan dengan serangkaian pembunuhan warga sipil di Papua. Mereka melakukan berbagai perusakan yang mengerikan, menindas petani di kampung-kampung, menganiaya perempuan, membunuh warga yang tidak bersalah. Bukan saja pekerja jalan, namun warga di perkampungan pedalaman pun dibantai dengan alasan klasik mata-mata TNI Polri. Selain itu, hewan peliharaan warga pedalaman juga diambil secara paksa, kemudian kebun masyarakat menjadi lumbung logistik kelompok OPM. Namun di sisi lain, TPNPB juga telah merasa kehilangan pengaruh dengan semakin membaiknya kondisi masyarakat di Papua. Sehingga, sasarannya kemudian mengarah kepada masyarakat sipil yang tak bersalah.

Sebuah penelitian dari akademisi Universitas Cenderawasih Papua, La Mochtar Unu pernah membuahkan beberapa poin eksplanasi berkaitan dengan dampak atas adanya aksi kekerasan yang kerap dilakukan oleh Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua atau juga disebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), dimana TPNPB OPM merupakan bagian didalamnya. Dalam penelitian tersebut terdiskripsikan bahwa kelompok separatis meski mengaku berjuang untuk kemerdekaan masyarakat Papua, namun merugikan masyarakat sipil. Ketika beraksi, mereka juga meneror warga masyrakat, dari satu kampung ke kampung lain, meminta makan, meminta uang. Jika tidak dilayani akan berakhir dengan tindakan penyerangan atau bahkan penembakan. Masyarakat juga seolah mati di tengah-tengah layaknya pelanduk, karena serba salah dalam beraktivitas. Ketika mereka masuk hutan, untuk mencari kayu atau membuka ladang, aktivitasnya berpotensi dicurigai oleh TPNPB-OPM. Mereka bisa dianggap sebagai mata-mata tentara. Sementara sebaliknya, di mata TNI/Polri, mereka juga bisa dicurigai sebagai anggota TPNPB-OPM.

Masih dalam hasil kajian, Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Wahyu Wagiman menyebut bahwa meskipun terjadi pendekatan penanganan terhadap masalah Papua, namun konflik masih terjadi dan korban kekerasan terus berjatuhan, sebagian besar menimpa masyarakat sipil. Di tengah konflik bersenjata, dalam skala global, berlaku hukum humaniter internasional atau Konvensi Jenewa dan sejenisnya yang diterapkan. Namun dalam kasus Papua, aturan hukum internasional sulit diterapkan untuk menjamin keselamatan masyarakat sipil. Pasalnya, haknya pemerintah Indonesia yang menjadi pihak dalam Konvensi Jenewa 1949, sementara kelompok OPM tidak diakui. Karena perangkat hukum internasional tidak dapat diterapkan dalam kasus Papua, maka hanya ada perangkat hukum nasional yang bisa dipakai. Karena itulah, perlindungan masyarakat sipil dalam konflik bersenjata Papua, didasarkan pada UUD 1945, di mana negara harus melindungi segenap warganya. Termasuk di dalamnya, adalah berbagai undang-undang lain yang terkait seperti UU Hak Asasi Manusia.

Sorotan Tokoh Pemuda Papua Terhadap Aksi Kekerasan Kelompok Separatis

Adanya kekerasan yang masih terjadi oleh kelompok separatis Papua juga menjadi sorotan oleh tokoh pemuda Papua, Ali Kabiay. Dirinya menegaskan bahwa kelompok separatis yang masih terus meminta kemerdekaan Papua adalah bukan bagian dari masyarakat setempat atau orang asli Papua (OAP). Papua yang merupakan bagian dari NKRI merupakan jalan dan anugerah Tuhan. Aksi-aksi anarkis yang dilakukan secara nyata telah menghambat pembangunan ekonomi dan sumber daya manusia di Papua. Dirinya memandang bahwa keputuan Presiden Jokowi yang tetap melakukan kunjungan kedaerahan ke Papua di tengah gentingnya situasi kekerasan oleh kelompok separatis adalah bukti kecintaan pemerintah Indonesia pada bumi cenderawasih.

__

Agus Kosek

(Pemerhati Masalah Papua)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
%d bloggers like this: