Oleh : Janu Farid Kesar )*
Pemilhan Umum (Pemilu) merupakan momen di mana masyarakat akan menggunakan hak suaranya untuk memilih pemimpin ataupun anggota parlemen. Tentu saja masyarakat memiliki peran untuk mengawasi jalannya pemilu demi menciptakan pemilu yang aman dan kondusif.
Selama penyelenggaraan Pemilu, tantangan ataupun masalah seperti kampanye hitam merupakan lagu lama yang masih menjadi hal untuk diantisipasi. Kampanye hitam biasanya berisi narasi kebencian tanpa data akurat, terkadang dibumbui oleh kalimat yang kurang santun, hingga pada akhirnya berujung konflik horizontal. Hal ini tentu saja harus menjadi perhatian bagi masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi oleh kampanye hitam.
Masyarakat yang memiliki gawai juga diharapkan untuk menjaga diri agar tidak tenggelam ke dalam narasi provokasi yang akan berdampak pada munculnya polarisasi. Media sosial memang memudahkan siapapun untuk berkampanye, tetapi juga semakin memudahkan seseorang untuk membuat narasi kampanye hitam untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Perlu dipahami bahwa stabilitas dan kondusifita di suatu daerah sangatlah penting agar pesta demorasi dapat berjalan dengan baik. Suksesnya pemilu tentu saja tidak lepas dari peran serta dan partisipasi masyarakat, sebab hal tersebut merupakan wujud tanggung jawab seorang warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketika situasi politik sedang memanas, tentu saja masyarakat jangan mudah untuk mengadu domba, justru sebaiknya masyarakat harus saling menghormati antar pendukung dan saling memberikan energi yang positif.Perdamaian serta kondusifitas harus dijaga, sebab pada masa kampanye, para calon pemimpin bisa meningkatkan emosi untuk membuat situasi semakin memanas. Oleh karena itu masyarakat juga harus ingat agar saat kampanye, pemilu dan pasca pemilu dapat dijalankan secara damai tanpa ada pertikaian di negeri ini.
Ketika ada pertikaian maka akan ada kerugian seperti, potensi gagalnya pemilu karena ada kerusuhan parah. Masyarakat yang bertikai yang bisa melampiaskan emosinya dengan membakar tempat pemungutan suara (TPS). Akibatnya pemilu akan menjadi momen yang menakutkan dan membuat trauma.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa ketika Pemilu berlangsung di era reformasi maka lebih menegangkan. Bukan hanya karena banyak calon presiden baru, namun juga karena ada potensi perpecahan, tak hanya di dunia nyata tetapi juga di dunia maya.
Jika berkaca dari Pemilu 2014 dan 2019, perseteruan kerap terjadi di dunia maya dan situasi sangat panas sampai ada julukan buruk dari masing-masing kubu pendukung capres saat itu. Tentu saja jangan sampai hal tersebut terulang, karena sudah seharusnya masyarakat dapat bersikap dewasa dan meninggalkan permusuhan.
Permusuhan tentu saja wajib dihapuskan, karena hal tersebut bisa dimanfaatkan oleh provokator maupun oknum yang ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan. Jangan sampai kekacauan sosial muncul gara-gara ulah mereka. Oleh karena itu masyarakat wajib berperan besar untuk menciptakan Pemilu yang damai, agar tidak ada kerusuhan yang berujung pada tawuran dan bisa memakan korban.
Proses Pemilu yang baik tentu saja harus memegang prinsip jujur dan adil. Selain itu juga harus bersih dari praktik-praktik kotor apapun. Maka, perlu pengawasan secara luas dengan menggandeng semua elemen masyarakat dan bagian bentuk dari pendidikan politik.
Masyarakat yang perupakan fungsi kontrol harus memiliki keberanian untuk melapor kepada Bawaslu apabila mengetahui adanya pelanggaran pemilu, seperti bagi-bagi sembako ataupun bagi-bagi uang dengan menunjukkan bukti yang cukup. Tindakan kotor tersebut tentu saja tidak dibenarkan dan dapat merusak kesehatan berdemokrasi di Indonesia.
Politik uang sendiri belum memiliki definisi yang baku. Istilah yang selama ini dikenal sebagai politik uang digunakan utnuk menyatakan praktik korupsi politik, klientelisme, hingga pembelian suara. Politik uang sendiri merupakan upaya suap-menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa agar preferensi suara pemiliih dapat diberikan kepada penyuap.
Jenis politik uang juga beragam. Ada hal-hal yang bisa dikategorikan politik uang seperti pemanfaatan fasilitas negara untuk keuntungan pribadi kaitannya dengan Pemilu atau Pilkada. Jenis politik uang lainnya bisa berupa pemberian fasilitas jalan raya maupun pemberian fasilitas jembatan yang menggunakan anggaran negara untuk kepentingan pribadi.
Aksi politik uang hanya meningkatkan potensi munculnya calon koruptor yang menggerogoti kekayaan negara. Sehingga pengawasan dari masyarakat selama pemilu akan tetap diperlukan guna menghasilkan pemimpin yang jujur dan amanah. Bukan pemimpin yang justru berniat “balik modal”.
Dalam hal ini, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Amir Arief juga menyatakan tentang pentingnya partai politik untuk mencegah politik uang. Menurut dia, Parpol seharusnya memiliki peranan penting dalam kontestasi politik di Indonesia. Sebab Parpol menjadi pemegang suara rakyat yang mengantarkan para kadernya duduk pada jabatan publik, baik eksekutif maupun legislatif.
Masyarakat juga harus berperan dalam meredam segala bentuk intimidasi politik, karena bagaimanapun juga masyarakat memiliki hak untuk menentukan pilihannya tanpa harus mendapatkan tekanan dari pihak manapun. Hal ini tentu saja sejalan dengan prinsip suara rakyat adalah suara Tuhan.
Situasi yang aman dan kondusif jelang, saat maupun pasca pemilu juga menjadi masalah yang perlu mendapatkan perhatian serta antisipasi dari masyarakat, karena masyarakat merupakan garda terdepan dalam mewujudkan pemilu yang aman dan kondusif.
)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara