impresionis.com – Sebuah narasi berbentuk opini bersifat janggal dan ngadi-adi kembali muncul dari seorang Pendeta politik Socratez Yoman melalui media online partisan yang kerap ia gunakan yakni normshedpapua.com. Bukan sebuah hal baru bagi dirinya yang kerap dibahas memiliki kecondongan kedekatan dengan tersangka kasus korupsi dan gratifikasi, Lukas Enembe. Sejumlah narasi yang ia tulis seringkali kedapatan merupakan persuasi dukungan dan penggiringan kepada publik agar turut mendukung Lukas Enembe memanfaatkan celahnya sebagai putra daerah hingga sejumlah sisi positif yang pernah ditorehkan. Sayangnya, persuasi tersebut terkadang menjurus ke halu dan hayal.
Tak hanya perihal Lukas Enembe yang konsisten ia poles dengan balutan opini, sejumlah upaya provokatif untuk semata ‘membalas’ resistensi kebijakan pemerintah pusat juga ia gelontorkan melalui opini-opini ngawur yang kadang berseliweran di media sosial. Kali ini dirinya membahas perihal kebijakan Otsus dan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di wilayah Papua. Menurutnya, 95% masyarakat Papua menolak Otsus, UP4B, Otsus Jilid 2 dan DOB. Secara khusus, DOB dianggap sebagai boneka Indonesia di tanah Papua Barat. Namun hal tersebut dinilainya tidak akan membunuh ideologi dan nasionalisme Papua. Justru menurutnya, adanya DOB boneka akan menyuburkan serta memperkokoh ideologi Papua Barat untuk merdeka.
Seperti sedang memanfaatkan image dirinya sebagai seorang pendeta, dalam tulisannya ia tegaskan bahwa opini yang dibuat merupakan bagian dari hidupnya, pertanggungjawaban ilmu, iman, dan kepentingan pendidikan kesadaran sejarah bagi masyarakat Papua. Sebuah penggiringan opini memanfaatkan kelekatan ideologi yang rawan untuk diorkestrasi.
Politik Socratez Yoman Kembali Mainkan Isu DOB Setelah Tertangkapnya Lukas Enembe
Persinggungan berkaitan dengan isu kebijakan DOB memang bukan kali pertama dibahas oleh Socratez Yoman dalam bentuk narasi artikel maupun pernyataan yang direkam dalam format video. Keterkaitan isu tersebut sempat menghilang lantaran secara resmi pemerintah telah mengesahkan perihal kebijakan tersebut dengan undang-undang. Sementara itu, Lukas Enembe yang kemudian mulai diperiksa terkait kasus korupsi dan gratifikasi membuatnya membanting arah opini kepada pembelaan terhadap gubernur non aktif tersebut.
Hampir bisa dipastikan bahwa tokoh gereja yang terlihat menonjol dan aktif dalam membela Lukas Enembe salah satunya adalah Socratez Yoman. Sejumlah narasi artikel berbau pembelaan kerap ia sampaikan, baik melalui media online partisan maupun media sosial yang kemudian diunggah ulang oleh para simpatisan Lukas Enembe. Kini, ketika gubernur non aktif tersebut telah dibawa ke Jakarta untuk penyidikan lebih lanjut dimana pihak KPK secara tegas menyatakan perpanjangan penahanan terhadapnya selama 40 hari kedepan demi kepentingan penyidik untuk mengungkap kasus yang menjeratnya. Maka bagai ayam kehilangan induk serta harapan, Socratez Yoman kemudian banting setir melanjutkan kembali isu penolakan DOB yang sempat tak dijamahnya.
Kembalinya ia membahas isu DOB juga berbarengan dengan momentum Menkopolhukam dan MPR yang sedang membahas tindak lanjut pengembangan Papua melalui kebijakan pemekaran DOB. Bahkan dalam pembahasan tersebut juga meliputi persiapan penyelenggaraan Pemilu 2024 pada empat DOB Papua, meliputi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya. Seperti gayung bersambut, isu penolakan DOB yang kembali dilancarkan oleh Socratez Yoman memang sengaja dilakukan untuk menghambat kebijakan pemerintah pusat, atau mungkin sebagai pernyataan sikap karena kecewa atas penangkapan Lukas Enembe.
Mengalirnya Uang Negara Kepada Sejumlah Tokoh di Papua untuk Membela Lukas Enembe
Untuk diketahui bahwa berdasarkan pengakuan oleh seorang tokoh Papua yang tak mau disebutkan namanya, didapatkan informasi bahwa segala tulisan bernada kritis dan cenderung bernada sentimen negatif terhadap pemerintah yang dituliskan Socratez Yoman merupakan pesanan dari Lukas Enembe. Keberpihakannya untuk membela Lukas Enembe disebut sebagai faktor balas jasa. Munculnya kembali isu penolakan DOB juga diindikasi sebagai lanjutan atas kekecewaannya karena penangkapan Lukas Enembe.
Kepada Pendeta Socratez Sofyan Yoman, sebagai tokoh agama yang beberapa kali berpolitik, membela sang gubernur karena faktor politik mungkin masih bisa dimaklumi. Namun untuk urusan hukum janganlah ikut bermain-main jika nantinya tak ingin terkena imbasnya. Ingat, bahwa melindungi tersangka kasus korupsi juga merupakan pelanggaran hukum. Pun ketika menyuarakan penolakan terhadap kebijakan yang telah disahkan secara undang-undang seperti pemekaran DOB, juga pasti bakal menerima konsekuensi atau hukuman yang berlaku.
Selain pendeta Socratez Yoman, sejumlah tokoh dan organisasi Papua juga disebut menerima uang negara melalui Lukas Enembe. Salah satunya kelompok Mathias Wenda dari Tentara Revolusi West Papua (TRWP) dan West Papua Army (WPA) yang masuk di birokrasi pemerintah kantor Gubernur Papua. Disebut bahwa orang-orang seperti Simson Jikwa, Edison Wenda dan teman-temannya hanya menghabiskan uang rakyat yang kemudian menyebabkan sang gubernur menerima imbasnya. Dalam sebuah pengakuan juga disebut bahwa setiap tahun sebesar Rp20 miliyar keluar dari kantor Gubernur untuk diberikan kepada Markus Haluk, Benny Wenda dan kelompoknya. Mereka disebut menerima uang melalui Pengusaha Adat Papua, yang dikelola oleh Johny Haluk Wamu dan David Haluk. Beberapa aktor tersebut yang harusnya diusut berkaitan dengan perpanjangan kasus yang menimpa Lukas Enembe.
Sisi Gelap Seorang Pendeta Politik, Socratez Yoman
Tak banyak yang menyangka bahwa Socratez Yoman merupakan salah satu tokoh agama yang juga merangkap sebagai aktivis pro kemerdekaan Papua. Ia memiliki concern dalam bidang ideologi untuk mempengaruhi masyarakat, utamanya untuk turut serta memperjuangkan kemerdekaan wilayah Papua dari Indonesia. Dalam perjalanannya, kiprah Socratez sebagai penggembala umat justru tersusul oleh sejumlah aktivitasnya yang tendensius pada upaya politik untuk melepaskan diri dari Indonesia. Sejumlah jejak dari kegiatan dan gerakan politiknya telah membuat sejumlah pihak merasa keberatan, tidak terima, bahkan hingga menyulut provokasi.
Pengamat politik masalah Papua alumnus Universitas Indonesia (UI), Toni Sudibyo merespon pernyataan Socratez pada tahun 2014 terkait penyusunan Otsus serta implementasinya bahwa Indonesia hanya bersandiwara dengan membiarkan orang Papua musnah melalui kekerasan negara selama hampir 50 tahun. Menurutnya, pernyataan Socratez merupakan strategi dasar para pendukung OPM di dalam maupun di luar negeri untuk melakukan segala upaya sehingga program Otsus dan program pembangunan gagal, dimana skenario selanjutnya adalah dorongan penentuan sikap politik melalui referendum untuk melepaskan diri dari Indonesia.
Seorang Pendeta Socratez juga bersikap kontradiktif dengan mengapresiasi peresmian kantor ULMWP di Wamena pada tahun 2016. Menurutnya peresmian tersebut merupakan dinamika dan realitas politik perjuangan rakyat dan bangsa Papua Barat yang diakui dan diterima Pemerintah Indonesia. Namun fakta yang terkuak kemudian, peresmian tersebut ternyata menungganggi acara syukuran masyarakat Wamena atas berdirinya kantor Dewan Adat Papua (DAP). Beberapa masyarakat yang hadir dalam kegiatan tersebut kecewa karena merasa dibohongi. Masih berkaitan dengan ULMWP, di tahun 2011 Socratez juga pernah melakukan kebohongan publik mengklaim bahwa ULMWP dipilih secara sah oleh rakyat Papua dalam Konferensi Perdamaian Papua (KPP) pada 5-7 Juni 2011 di Auditorium Universitas Cenderawasih Papua. Faktanya, kegiatan tersebut berisi seminar dan dikusi dengan tema “Mari Kitong Bikin Papua Jadi Tanah Damai”.
Di tahun 2016, pernyataan Ketua MRP Papua Barat Vitalis Yumte bahwa perjuangan politik Papua sudah final melalui dua fase masing-masing Pepera 1969 dan Otsus 2001, dibantah oleh Socratez. Menurutnya pernyataan tersebut tidak mewakili suara Nurani orang asli Papua. Ia bersikeras tak ada istilah final dalam kehidupan masyarakat, tapi selalu ada dinamika dan proses politik. Pernyataan tersebut direspon oleh generasi muda Papua Emus Kogoya bahwa Socratez bukan politikus, yang dimaksud final bukan kebijakannya, tetapi status politik bahwa Papua secara sah merupakan bagian dari NKRI. Jika saat ini terdapat kebijakan Otsus, DOB, dll, merupakan upaya percepatan pembangunan di Papua. Seorang mahasiswa Papua di Jakarta bernama Emilia Karubaga juga turut merespon pernyataan Socratez yang menurutnya tidak mencerminkan seorang pendeta, namun cenderung provokator yang selalu memperkeruh dengan bersembunyi dibalik agama. Semestinya dirinya membuat sejuk hati umat, bukan membuat panas.
Sikap menyesalkan kepada Socratez juga pernah ditunjukkan oleh Ketua Pemuda Mandala Trikora Provinsi Papua, Ali Kabiay. Ia menyesalkan pernyataan Socratez Yoman dalam status di akun Facebook atas nama Socratez Sofyan Yoman pada tanggal 1 November 2020 terkait pembentukan organisasi P5 atau Presidium Putra Putri Pejuang Pepera, di sentani yang diketuai oleh Bapak Yanto Eluay. Menurut Ali, pendeta Socratez sebaiknya tidak terlalu mengurusi masalah politik di Papua dan belajar menghargai keputusan Ondoafi Yanto Eluay sebagai ketua P5. Ia berharap Pendeta Socratez menunjukkan jati diri sebagai pelayan umat, bukan inspirator politik.
Masih berkaitan dengan unggahan di media sosial, pada tahun 2021 Pendeta Socratez juga pernah mengunggah narasi dengan menyebut bahwa Indonesia sebagai penjajah yang memadukan rasisme di tanah Papua. Unggahan tersebut kemudian direspon oleh pemerhati isu strategis dan masalah Papua, Prof. Imron Cotan bahwa sebagai seorang doktor, pendeta, dan tokoh masyarakat, tidak seharusnya Socratez memutarbalikkan sejarah dengan pura-pura tak tahu kronologi sejarah kemerdekaan Indonesia dan hubungannya dengan Tanah Papua, bahkan mengatakan Indonesia sebagai bangsa “penjajah”.
__
Agus Kosek
(Pemerhati Masalah Papua)